Kode Etik Profesi Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)

BAB I

PENDAHULUAN

  1. A.    Latar Belakang

Pasal 1 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006 menyebutkan bahwa PPAT adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah dan satuan rumah susun. Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) memang pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik sejauh pembuatan akta tertentu tidak dikhususkan bagi pejabat umum lainnya. Pembuatan akta otentik ada yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dalam rangka menciptakan kepastian, ketertiban, dan perlndungan hukum. Selain akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan PPAT, bukan saja karena diharuskan oleh peraturan perundang-undangan, tetapi juga karena dikehendaki oleh pihak yang berkepentingan untuk memastikan hak dan kewajiban para pihak demi kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum bagi pihak yang berkepentingan sekaligus bagi masyarakat secara keseluruhan.

Akta otentik sebagai alat bukti terkuat dan terpenuh mempunyai peranan penting dalam setiap hubungan hukum dalam kehidupan masyarakat. Dalam berbagai hubungan bisnis, kegiatan di bidang perbankan, pensertipikatan tanah, kegiatan sosial, dan lain-lain

kebutuhan akan pembuktian tertulis berupa akta otentik makin meningkat sejalan dengan berkembangnya tuntutan akan kepastian hukum dalam berbagai hubungan ekonomi dan sosial, baik pada tingkat nasional, regional maupun global. Melalui akta otentik yang menentukan secara jelas hak dan kewajiban, menjamin kepastian hukum, dan sekaligus diharapkan pula dapat dihindari terjadinya sengketa. Walaupun sengketa tersebut tidak

dapat dihindari, dalam proses penyelesaian sengketa tersebut akta otentik akan merupakan alat bukti tertulis yang kuat dan memberikan sumbangan nyata bagi penyelesaian perkara secara murah dan cepat.

Akta otentik pada hakikatnya memuat kebenaran formal sesuai dengan apa yang diberitahukan para pihak kepada PPAT. Namun PPAT mempunyai kewajiban untuk memastikan bahwa apa yang termuat dalam Akta PPAT sungguh-sungguh telah dimengerti dan sesuai dengan kehendak para pihak, yakni dengan cara membacakannya sehingga menjadi jelas isi Akta PPAT, serta memberikan akses terhadap informasi, termasuk akses terhadap peraturan perundang-undangan yang terkait bagi para pihak penandatangan akta. Dengan demikian, para pihak dapat menentukan dengan bebas untuk menyetujui atau tidak menyetujui isi Akta PPAT yang akan ditandatanganinya.

Oleh karena hal tersebut diatas Penulis merasa tertarik dan perlu membahas permasalahan yang ada dengan mengambil judul sebagai berikut : PERANAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH DALAM PENSERTIFIKATAN TANAH (sesuai dengan Kode Etik Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah dan Peraturan Perundangan Lainnya).

  1. B.     Identifikasi Masalah

Berdaarkan uraian tersebut diatas,maka permasalah yang akan dibahas yaitu :

  1. Apa itu Pejabat Pembuat Akta Tanah ?
  2. Bagaimana peranan Camat sebagai Pejabat Pembuat Akta Tnah Sementara?
  3. Apa itu pendaftaran tanah?
  4. Bagaimana peranan Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam Pensertifikatan tanah hak milik?

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

  1. A.    Tinjauan Umum Tentang Pejabat Pembuat Akta Tanah
    1. 1.      Pengertian Pejabat Pembuat Akta Tanah

Dalam pengelolaan bidang pertanahan di Indonesia, terutama dalam kegiatan pendaftaran tanah, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), merupakan pejabat umum yang menjadi mitra instansi BPN guna membantu menguatkan/mengukuhkan setiap perbuatan hukum atas bidang tanah yang dilakukan oleh subyek hak yang bersangkutan yang dituangkan dalam suatu akta otentik.

“Segala Warga Negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”

Ungkapan kalimat tersebut mengandung pengertian bahwa semua Warga Negara Indonesia mempunyai kedudukan yang sama di muka hukum, dan berkewajiban tunduk pada hukum yang berlaku.

Dalam ketentuan Hukum Tanah Nasional yaitu Undang-Undang Pokok Agraria No.5 Tahun 1960 mengatur bahwa semua Peralihan Hak Atas Tanah dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pejabat Pembuat Akta Tanah yang kemudian disingkat PPAT sebagai Warga Negara sekaligus Pejabat yang berwenang membuat akta otentik mengenai segala sesuatu perbuatan hukum berkaitan dengan peralihan Hak Atas Tanah,

tunduk pada hukum dan peraturan perundangan yang berlaku.

Menurut Pasal 1 ayat (3) kode etik Ikatan  Pejabat Pembuat Akta Tanah yang disebut dengan Pejabat Pembuat Akta Tanah atau PPAT adalah setiap orang yang menjalankan tugas jabatannya yang menjalankan fungsi sebagai pejabat umum.

Sedangkan Pasal 1 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006 menyebutkan bahwa PPAT adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun.[1] Dalam PP No. 37/1998 ini juga memuat PPAT sementara dan PPAT khusus. Selain itu wajib membantu kliennya apabila ingin melakukan peralihan hak atas tanah dengan tidak menyimpang dari peraturan jabatannya sebagai Pejabat pembuat Akta Tanah.

Effendi Perangin-angin menyebutkan bahwa PPAT adalah pejabat yang berwenang membuat akta daripada perjanjian-perjanjian yang bermaksud memindahkan hak atas tanah, memberikan sesuatu hak baru atas tanah, menggadaikan tanah atau meminjamkan uang dengan hak atas tanah sebagai tanggungan.[2]

  1. 2.      Macam-Macam PPAT

Macam-macam PPAT menurut ketentuan dari Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor  37 Tahun 1998 adalah terdiri dari :

a) Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) adalah pejabat umum yang diberi    kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun.

b) PPAT sementara adalah Pejabat pemerintah yang ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta PPAT di daerah yang belum cukup terdapat PPAT.

c) PPAT khusus adalah Pejabat Badan Pertanahan Nasional yang ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta PPAT tertentu khusus dalam rangka pelaksanaan program atau tugas pemerintah tertentu.

Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan Dengan tanah. Yang disebut dengan PPAT adalah pejabat umum yang diberikan wewenang untuk membuat akta pemindahan hak atas tanah, akta pembebanan hak atas tanah dan akta pemberi kuasa pembebanan hak Tanggungan menurut Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.

Dalam pelaksanaan administrasi pensertipikatan tanah, data pendaftaran tanah yang tercatat di Kantor Pertanahan harus selalu sesuai dengan keadaaan atau status sebenarnya mengenai bidang tanah yang bersangkutan, baik yang menyangkut data fisik bidang tanah tesebut maupun hubungan hukum yang menyangkut bidang tanah itu atau data yuridisnya.

Dalam hubungan dengan tindak lanjut terhadap pencatatan data yuridis ini, diperlukan Petugas Pembuat Akta Tanah atau PPAT yang akan menerbitkan akta tanah. Dengan demikian, peran PPAT sangat penting dalam hubungannya dengan maksud memudahkan pendataan, pendaftaran, memberikan hak baru, dan/atau membebankan hak atas tanah.

Dari pengertian PPAT di atas, maka dapat dilihat betapa pentingnya fungsi dan peranan PPAT dalam melayani kebutuhan masyarakat dalam hal pertanahan baik pemindahan hak atas tanah, pemberian hak baru atau hak lainnya yang berhubungan dengan hak atas tanah.

Jadi di wilayah Republik Indonesia ada 3 macam PPAT yaitu :

1)      PPAT Umum/diangkat;

2)      PPAT Sementara/ditunjuk;

3)      PPAT Khusus/ditunjuk.

  1. 3.      Dasar Hukum PPAT

a. UUPA No.5 Tahun 1960

Ketentuan hukum tentang PPAT yang diatur dalam UUPA yaitu Pasal 19 UUPA yang menyatakan bahwa :

(1) Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan Pendaftaran Tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.

(2) Pendaftaran tersebut dalam ayat 1 Pasal ini meliputi :

a. Pengukuran, perpetaan dan pembukaan tanah;

b. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut;

c. Pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.

(3) Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan Negara dan Masyarakat, keperluan lalu-lintas sosial ekonomis serta kemungkinan penyelenggaraannya, menurut pertimbangan Menteri Agraria.

(4) Dalam Peraturan pemerintah diatur biaya-biaya yang bersangkutan dengan yang tidak mampu dibebaskan dari pembayaran biaya-biaya tersebut.

Dalam Peraturan tersebut PPAT berfungsi sebagai pembuat akta yang bermaksud memindahkan hak atas tanah, memberikan hak baru atau membebankan hak atas tanah, dalam rangka pendaftarannya.

b. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan

Pada tanggal 18 Maret 1996, DPR RI telah menyetujui Rancangan Undang-Undang tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah untuk disahkan menjadi undang-undang. Terbitnya Undang-Undang Hak Tanggungan atas Tanah (UUHT) yang merupakan perwujudan amanat Pasal 51 UUPA itu, sudah sepantasnya disambut dengan perasaan lega. Namun, yang lebih penting adalah antisipasi pelaksanaannya.[3]

PPAT sebagai pejabat umum yang ditegaskan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah disebutkan bahwa : “PPAT yang selanjutnya disebut PPAT, adalah pejabat umum yang diberi wewenang untuk membuat akta pemindahan hak atas tanah, akta pembebanan hak atas tanah, dan akta pemberian kuasa pembebanan Hak Tanggungan “menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 disebut memberikan ketegasan bahwa PPAT adalah pejabat umum dan berwenang membuat akta otentik. Akta otentik. Akta otentik yang dimaksud menurut Pasal 1868 KUHPerdata adalah : “suatu akta otentik ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditetapkan oleh Undang-Undang, dibuat oleh atau dihadapkan pejabat umum yang berkuasa untuk di tempat di mana akta dibuatnya”.

c. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah

Pengaturan tentang PPAT dalam PP Nomor 24 Tahun 1997 dituangkan dalam Pasal 37 menegaskan bahwa peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual-beli, tukar-menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Lebih lanjut dalam Penjelasan Umum PP Nomor 37 Tahun 1998 menentukan fungsi PPAT yang cukup besar dalam bidang pelayanan masyarakat dan peningkatan sumber penerimaan Negara yang kemudian akan merupakan pendorong untuk peningkatan pembangunan nasional.

d. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Pejabat Pembuat Akta Tanah

Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Pejabat Pembuat Akta Tanah, ini merupakan landasan yuridis pengaturan tentang PPAT di Indonesia. Dalam Pasal1 disebutkan bahwa :

“PPAT adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hokum tertentu mengenai Hak Atas Tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun”.

PPAT sebagai pejabat yang berwenang membuat akta otentik peralihan hak atas tanah diangkat dan diberhentikan oleh menteri yang bertanggung jawab di bidang agrarian/pertanahan. Segala hal yang menyangkut tugas dan wewenang PPAT ditegaskan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pembuat Akta Tanah yang dituangkan pada tanggal 5 Maret 1998 (lembaga Negara Tahun 1998 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3746).

PPAT mempunyai tugas yang penting dan strategis dalam penyelenggaraan pendaftaran tanah yaitu membuat akta peralihan hak atas tanah. Tanpa bukti berupa akta PPAT, para Kepala Kantor Pertanahan dilarang mendaftar perbuatan hukum yang bersangkutan.

Akta yang dibuat PPAT sebagai pejabat umum merupakan akta otentik. PPAT sebagai pejabat yang bertugas khusus di bidang pelaksanaan sebagian kegiatan pendaftaran tanah, yang dimaksud adalah :

1) Notaris;

2) Camat (Penunjukan sebagai PPAT sementara);

3) Kepala Kantor Pertanahan (penunjukan sebagai PPAT khusus).

e. Peraturan Kepala BPN No. 1 Tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksana Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah

Peraturan Kepala BPN Nomor 1 Tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksana PP No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah sebagai pengganti dari Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala BPN Nomor 4 Tahun 1999 tentang Pelaksanaan PP Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.

Mengenai penunjukan PPAT sementara diatur dalam Pasal 19 Peraturan Kepala BPN Nomor 1 Tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998, yaitu “Penunjukan Camat sebagai PPAT sementara dilakukan dalam hal di daerah kabupaten/kota sebagai wilayah kerjanya masih tersedia formasi PPAT”. Keputusan penunjukan camat sebagai PPAT sementara oleh Kepala Badan yang pelaksanaannnya didelegasikan kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota.

 

 

  1. 4.      Pengangkatan Pejabat Pembuat Akta Tanah

Mengingat pentingnya tugas dan fungsi Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dalam kehidupan masyarakat di Indonesia sekarang ini maka pemerintah menetapkan juga kriteria-kriteria dan syarat-syarat dari Pejabat Pembuat Akta Tanah.

Pengangkatan dan penunjukan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) diatur dalam dalam Pasal 11 dan Pasal 12 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006.

Pasal 11 menyebutkan bahwa:

(1) PPAT diangkat oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional

(2) Untuk dapat diangkat sebagai PPAT, yang bersangkutan harus lulus ujian PPAT yang diselenggarakan oleh Badan Pertanhsn Nasional Republik Indonesia

(3) Ujian PPAT sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diselenggarakan untuk mengisi formasi PPAT di kabupaten/kota yang formasi PPAT nya belum terpenuhi.[4]

Pasal 12 menyebutkan bahwa:

(1) Sebelum mengikuti ujian PPAT, yang bersangkutan wajib mengikuti pendidikan dan pelatihan PPAT yang diselenggarakan oleh Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia yang penyelenggaraannya dapat bekerja sama dengan organisasi profesi PPAT.

(2) Pendidikan dan pelatihan PPAT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimaksudkan untuk mendapatkan calon PPAT yang profesional dan memiliki kemampuan dalam melaksanakan tugas jabatannya.

(3) Materi ujian PPAT terdiri dari: (1) Hukum Pensertipikatan tanah Nasional; (2)

Organisasi dan Kelembagaan Pensertipikatan tanah; (3) Pendaftaran Tanah; (4) Peraturan Jabatan PPAT; (5) Pembuatan Akta PPAT; dan (6) Etika Profesi.[5]

Untuk dapat mengikuti ujian PPAT yang tercantum dalam Pasal 14 Peraturan Kepala BPN Nomor : 1/2006 bahwa yang bersangkutan berusia paling kurang 30 (tiga puluh) tahun dan wajib mendaftar pada panitia pelaksana ujian Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia.

Calon PPAT yang telah lulus ujian PPAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 mengajukan permohonan pengangkatan sebagai PPAT kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional, selanjutnya Kepala Badan Pertanahan Nasional menerbitkan keputusan pengangkatan PPAT.

Selain PPAT sebagaimana dimaksudkan di atas, Camat maupun Kepala Desa dapat pula menjadi PPAT di wilayahnya. Hal ini disebabkan suatu keadaan tertentu (kondisi geodrafis, kondisi masyarakat setempat, atau jumlah PPAT-nya belum cukup, dan lain-lain) sehingga Camat maupun Kepala Desa ditunjuk menjadi PPAT. Seperti disebutkan pada Pasal 18 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional bahwa:

(1) Dalam hal tertentu Kepala Badan dapat menunjuk Camat dan/atau Kepala Desa karena jabatannya sebagai PPAT Sementara;

(2) Sebelum Camat dan/atau Keepala Desa ditunjuk sebagai PPAT Sementara, yang bersangkutan wajib mengikuti pendidikan dan pelatihan PPAT yang diselenggarakan oleh Badan Petanahan Nasional Republik Indonesia yang penyelenggaraannya dapat bekerja sama dengan organisasi profesi PPAT.

(3) Kewajiban mengikuti pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikecualikan bagi Camat dan/atau Kepala Desa yang akan ditunjuk sebagai PPAT Sementara, apabila di daerah kabupaten/kota yang bersangkutan belum ada PPAT.

(5) Pendidikan dan Pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dimaksudkan untuk menambah kemampuan PPAT Sementara dalam melaksanakan tugas jabatannya.[6]

Dari beberapa penjelasan yang disampaikan melalui pasal-pasal tersebut di atas, jelaslah bahwa PPAT adalah pejabat yang tugasnya berkaitan dengan pendaftaran dan pembuatan akta tanah yang dipersiapkan dengan persyaratan sedemikian rupa agar dapat melaksanakan tugas jabatannya. Di samping PPAT umum, juga ada PPAT Sementara dan PPAT Khusus yang mempunyai tugas pokok dan kewenangan sendiri-sendiri.

Hal yang penting untuk dipahami pula mengenai PPAT, bahwa sebagai pejabat yang melaksanakan tugas berkaitan dengan bidang pendaftaran dan pembuatan akta tanah, jabatan PPAT selalu dikaitkan dengan wilayah tertentu yang menjadi daerah kerjanya. Pasal 5 Peraturan Kepala Badan Petanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006 mengatur tentang wilayah atau daerah kerja PPAT, bahwa:

(1) Daerah kerja PPAT adalah suatu wilayah kerja Kantor Pertanahan;

(2) Daerah kerja PPAT Sementara dan PPAT Khusus meliputi wilayah kerjanya sebagai pejabat pemerintah yang menjadi dasar penunjukannya.[7]

Karena fungsinya yang penting berkaitan dengan bidang pendaftaran dan pembuatan akta tanah bagi masyarakat yang memerlukan, maka fungsi tersebut harus dilaksanakan di seluruh wilayah negara. Karena itu di wilayah yang belum cukup terdapat PPAT, Camat perlu ditunjuk sebagai pejabat yang melaksanakan fungsi tersebut.

Adapun yang dimaksud dengan daerah yang belum cukup terdapat PPAT adalah daerah yang jumlah PPAT nya belum memenuhi jumlah formasi yang ditetapkan oleh Menteri sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 (tentang formasi PPAT). Di daerah yang sudah cukup terdapat PPAT dan merupakan daerah tertutup untuk pengangkatan PPAT baru, Camat yang baru tidak lagi ditunjuk sebagai PPAT Sementara. Berdasarkan pertimbangan untuk memenuhi pelayanan kepada masyarakat di daerah-daerah terpencil, yang masyarakat akan merasakan kesulitan apabila harus pergi ke Kantor Kecamatan untuk melaksanakan transaksi mengenai tanahnya. Menteri juga dapat menunjuk Kepala Desa untuk melaksanakan tugas PPAT.

  1. 5.      Tugas, Kewenangan dan Kewajiban PPAT
    1. Tugas PPAT

Menurut Boedi Harsono bahwa tugas PPAT yaitu Membantu pihak-pihak yang melakukan perbuatan hukum untuk mengajukan permohonan ijin pemindahan hak dan permohonan penegasan konversi serta pendaftaran hak atas tanah.[8]

Tugas pokok dan kewenangan PPAT diatur dalam Pasal 2 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006, bahwa:

(1) PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilaksanakannya perbuatan hokum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu.

(2) Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai berikut:

(a) jual beli;

(b) tukar menukar;

(c) hibah;

(d) pemasukan ke dalam perusahaan tertentu;

(e) pembagian hak bersama;

(f) pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas Tanah Hak Milik;

(g) pemberian Hak Tanggungan;

(h) pemberian Kuasa memberikan Hak Tanggungan.[9]

PPAT adalah pejabat umum, maka akta yang dibuatnya diberi kedudukan sebagai akta otentik. PPAT dapat melaksanakan tugas pembuatan akta tanah baik di dalam maupun di luar kantornya. Hal ini diatur dalam Pasal 52 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006, bahwa:

(1) PPAT melaksanakan tugas pembuatan akta PPATdi kantornya dengan dihadiri oleh para pihak dalam perbuatan hukum yang bersangkutan atau kuasanya sesuai peraturan perundang-undangan.

(2) PPAT dapat membuat akta di luar kantornya hanya apabila salah satu pihak dalam perbuatan hukum atau kuasanya tidak dapat datang di kantor PPAT karena alasan yang sah, dengan ketentuan pada saat pembuatan aktanya para pihak harus hadir di hadapan PPAT di tempat pembuatan akta yang disepakati.[10]

Agar para PPAT mempunyai wawasan yang luas berkaitan dengan jabatannya sehingga dapat menjalankan tugas dengan baik, maka perlu ada pembinaan dan pengawasan terhadap mereka. Hal itu telah diatur dalam Pasal 65 sampai dengan Pasal 68 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006, yakni sebagai berikut:

Pasal 65 menyebutkan bahwa:

(1)   Pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas PPAT dilakukan oleh Kepala Badan.

(2) Pembinaan dan pengawasan PPAT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam pelaksanaannya oleh kepala Badan, Kepala Kantor Wilayah dan Kepala Kantor Pertanahan.[11]

Pasal 66 menyebutkan bahwa:

(1) Pembinaan dan pengawasan terhadap PPAT yang dilakukan oleh Kepala Badan sebagai berikut:

  • Memberikan kebijakan mengenai pelaksanaan tugas jabatan PPAT;
  • Memberikan arahan pada semua pemangku kepentingan yang berkaitan dengan ke-PPAT-an;
  • Melakukan, pembinaan dan pengawasan atas organisasi profesi PPAT agar tetap berjalan sesuai dengan arah dan tujuannya;
  • Menjalankan tindakan-tindakan lain yang dianggap perlu untuk memastikan pelayanan PPAT tetap berjalan sebagaimana mestinya;
  • Melakukan pemninaan dan pengawasan terhadap PPAT dan PPAT Sementara dalam rangka menjalankan kode etik profesi PPAT.

(2) Pembinaan dan pengawasan terhadap PPAT yang dilakukan oleh Kepala Kantor sebagai berikut:

  • Menyampaikan dan menjelaskan kebijakan dan peraturan pensertipikatan tanah serta petunjuk teknis pelaksanaan tugas PPAT yang telah ditetapkan oleh Kepala Badan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
  • membantu melakukan sosialisasi, diseminasi kebijakan dan peraturan pensertipikatan tanah serta petunjuk teknis;
  • secara periodik melakukan pengawasan Kantor PPAT guna memastikan ketertiban administrasi, pelaksanaan tugas dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan ke-PPAT-an.

(3) Pembinaan dan pengawasan terhadap PPAT yang dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan sebagai berikut:

  • membantu menyampaikan dan menjelaskan mkebijakan dan peraturan pensertipikatan tanah serta petunjuk teknis pelaksanaan tugas PPAT yang telah ditetapkan oleh Kepala Badan dan peraturan perundang-undangan;
  • memeriksa akta yang dibuat PPAT dan memberitahukan secara tertulis kepada PPAT yang bersangkutan apabila ditemukan akta yang tidak memenuhi syarat untuk digunakan sebagai dasar pendaftaran haknya;
  • melakukan pemeriksaan mengenai pelaksanaan kewajiban operasional PPAT.[12]

Sedangkan berdasarkan Pasal 7 Kode Etik IPPAT menyebutkan bahwa pengawasan atas pelaksanaan kode etik ini dilakukan dengan cara sebagai berikut  :

  1. Pada tingkat pertama oleh Pengurus Daerah IPPAT dan Majelis Kehormatan Daerah bersama-sama dengan pengurus cabang dan seluruh anggota;
  2. Pada tingkat terakhir oleh Pengurus Pusat IPPAT dan Majelis Kehormatan Pusat.

Pasal 6 ayat (1) Kode Etik IPPAT menjelaskan bahwa sanksi yang dikenakan terhadap anggota yang melakukan pelanggaran kode etik dapat berupa : teguran, peringatan, schorsing (pemecatan sementara dari keanggotaan IPPAT, Onzetting (pemecatan dari keanggotaan IPPAT), pemberhentian dengan tidak hormat dari keanggotaan IPPAT.

Pasal 6 ayat (2) menjelaskan penjatuhan sanksi-sanksi sebagaimana terurai diatas terhadap anggota yang melakukan pelanggaran kode etik disesuaikan dengan kuantitias dan kualitas pelanggaran yang dilakukan anggota tersebut.

Sedangkan Perihal sanksi hukum terhadap PPAT lebih tegas digambarkan dalam Pasal 28 Ayat (1) huruf c Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006, bahwa PPAT diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena melakukan pelanggaran ringan terhadap larangan atau kewajiban sebagai PPAT. Kemudian Pasal 28 Ayat (2)menyebutkan bahwa PPAT diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatannya karena: (a) melakukan pelanggaran berat terhadap larangan atau kewajiban sebagai PPAT; (b) dijatuhi hukuman kurungan penjara karena melakukan kejahatan perbuatan pidana yang diancam dengan hukuman kurungan atau penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun atau lebih berat berdasarkan putusan pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap; dan (c) melanggar Kode Etik Profesi.

b. Kewenangan PPAT

Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 menyatakan bahwa :

“Untuk melaksanakan tugas pokok tersebut Pejabat Pembuat Akta Tanah mempunyai kewenangan membuat akta otentik mengenai semua perbuatan hukumsebagaimana telah disebutkan di atas, mengenai hak atas tanah dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang terletak di dalam daerah kerjanya. Pejabat Pembuat Akta Tanah Khusus hanya berwenang membuat Akta mengenai perbuatan hukum yang disebut secara khusus penunjukannya”

Sehubungan dengan tugas dan wewenang PPAT membantu Kepala Kantor pertanahan dalam melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta-akta yang akan dijadikan dasar pendaftaran perubahan data tanah, dan sesuai dengan jabatan PPAT sebagai Pejabat Umum, maka akta yang dibuatnya diberi kedudukan sebagai akat otentik.

Akta PPAT dibuat sebagai tanda bukti yang berfungsi untuk memastikan suatu peristiwa hukum dengan tujuan menghindarkan sengketa. Oleh karena itu pembuatan akta harus sedemikian rupa, artinya jangan memuat hal-hal yang tidak jelas agar tidak menumbulkan sengketa dikemudian hari.

Pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 menegaskan bahwa PPAT hanya berwenang membuat akta mengenai hak atas tanah atau Hak Milik atas satuan Rumah Susun yang terletak di wilayah kerjanya. Pengecualian dari Pasal 4 ayat (1) ditentukan dalam ayat (2), yaitu untuk akta tukar menukar, akta pemasukan dalam perusahaan (inbreng) dan akta pembagian hak bersama mengenai beberapa hak atas tanah dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang tidak semuanya terletak di dalam daerah kerja seseorang PPAT, dapat dibuat oleh PPAT yang daerah kerjanya meliputi salah satu bidang tanah atau satuan rumah susun yang haknya menjadi obyek perbuatan hukum.

Pasal 3 Peraturan Kepala BPN Nomor 1 Tahun 2006, menyatakan kewenangan PPAT adalah : Ayat (1) menyatakan “PPAT mempunyai kewenangan membuat akta tanah yang merupakan akta otentik mengenai semua perbuatan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) mengenai hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun yang terletak dalam daerah kerjanya”. Ayat (2) menyatakan “PPAT Sementara mempunyai kewenangan membuat akta tanah yang merupakan akta otentik mengenai semua perbuatan hukum sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat (2) mengenai hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun dengan daerah kerja di dalam wilayah kerja jabatannya”. Ayat (3) menyatakan “PPAT khusus hanya berwenang membuat akta mengenai perbuatan hukum yang disebut secara khusus dalam penunjukannya”.

  1. c.       Kewajiban PPAT

Kewajiban PPAT sebagaimana yang diatur dalam Pasal 45 Peraturan Kepala BPN Nomor 1 Tahun 2006 adalah :

(1) Menjunjung tinggi Pancasila, UUD 1945 dan Negara Republik Indonesia.

(2) Mengikuti pelantikan dan pengangkatan sumpah jabatan sebagai PPAT.

(3) Menyampaikan laporan bulanan kepada Kepala Kantor Pertanahan, Kepala Kantor Wilayah dan Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan.

(4) Menyerahkan Protokol PPAT dalam hal berhenti dari jabatannya atau  melaksanakan cuti.

(5) Membebaskan uang jasa bagi yang tidak mampu.

(6) Membuka kantor setiap hari kerja kecuali cuti atau hari libur resmi.

(7) Berkantor hanya di 1 kantor dalam daerah kerja sesuai dengan keputusan pengangkatan PPAT.

(8) Menyampaikan alamat kantor, contoh tanda tangan, contoh paraf dan eraan cap/stempel jabatannya kepada Kepala Kantor Wilayah, Bupati/Walikota, Ketua Pengadilan Negeri dan Kepala Kantor Pertanahan yang wilayahnya meliputi daerah kerja PPAT.

(9) Melaksanakan Jabatannya secara nyata setelah pengambilan sumpah.

(10)Memasang papan nama dan menggunakan stempel yang bentuk dan ukurannya ditetapkan oleh Kepala Badan.

(11) Lain-lain sesuai peraturan perundang-undangan. Kewajiban lain yang harus dilaksanakan oleh PPAT, satu bulan setelah pengambilan sumpah jabatan ditentukan dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah No.37 Tahun 1998 yaitu :

(a) Menyampaikan alamat kantornya, contoh tanda tangan, contoh paraf, dan cap/stempel jabatannya kepada Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi, Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II, Ketua Pengadilan Negeri, dan Kepala Kantor Pertanahan yang wilayahnya meliputi daerah kerja PPAT yang bersangkutan.

(b) Melaksanakan jabatannya secara nyata. PPAT harus berkantor di satu suatu kantor dalam daerah kerjanya dan wajib memasang papan nama serta menggunakan stempel yang bentuk dan ukurannya ditetapkan oleh Kepala Badan. Selanjutnya akta PPAT dibuat dengan bentuk yang ditetapkan oleh Kepala Badan, serta semua jenis akta diberi satu nomor urut yang berulang pada permukaan tahun takwim.

Akta PPAT dibuat dalam bentuk asli sebanyak 2 (dua) lembar, yaitu:

a) Lembar pertama sebanyak 1 (satu) rangkap disimpan oleh PPAT yang bersangkutan.

b) Lembar kedua sebanyak 1 (satu) rangkap atau lebih menurut banyaknya hak atas tanah atau satuan rumah susun yang menjadi obyek perbuatan hukum dalam akta, yang disampaikan kepada Kantor Pertanahan untuk keperluan pendaftaran, atau dalam hal akta tersebut mengenai pemberian kuasa membebankan hak tanggungan, disampaikan kepada pemegang kuasa untuk dasar pembuatan akta pemberian hak tanggungan, dan kepada pihak yang berkepentingan dapat diberikan salinannya.

Setiap lembar akta PPAT asli yang disimpan oleh PPAT harus dijilid sebulan sekali dan setiap jilid terdiri dari 50 lembar akta dengan jilid terakhir dalam setiap bulan memuat lembar-lembar akta sisanya. Pada sampul buku akta asli penjilidan akta-akta itu dicantumkan daftar akta didalamnya yang memuat nomor akta, tanggal pembuatan akta dan jenis akta.

Berdasarkan Pasal 26 ditegaskan bahwa PPAT harus membuat satu daftar untuk semua akta yang dibuatnya. Buku daftar akta PPAT diisi setiap akhir hari kerja dengan garis tinta yang diparaf oleh PPAT yang bersangkutan.

PPAT berkewajiban mengirim laporan bulanan mengenai akta yang dibuatnya, yang diambil dari buku daftar akta PPAT kepada Kepala Kantor Pertanahan dan kantor-kantor lain sesuai ketentuan Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah yang berlaku selambat-lambatnya tanggal 10 bulan berikutnya. PPAT harus dapat melaksanakan tugas

yang diembannya dengan sebaik-baiknya. Karena dalam Pasal 62 PP Nomor 24 Tahun 1997 telah ditetapkan sanksi bagi PPAT yang dalam melaksanakan tugasnya mengabaikan ketentuan-ketentuan yang berlaku serta petunjuk dari Menteri atau Pejabat yang ditunjuk.

Sanksi yang dikenakan berupa tindakan administratif, berupa teguran tertulis sampai pemberhentian dari jabatannya dengan tidak mengurangi kemungkinan dituntut ganti rugi oleh pihak-pihak yang menderita kerugian yang diakibatkan oleh diabaikannya ketentuan tersebut.

Berdasarkan Pasal 40 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah menegaskan bahwa :

Ayat (1) menyebutkan ;

“selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal ditandatanganinya akta yang bersangkutan, PPAT wajib menyampaikan akta yang dibuatnya berikit dokumen-dokumen yang bersangkutan kepada Kantor Pertanahan untuk didaftar’’.

Ayat (2) menyebutkan ;

“PPAT wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai telah disampaikannya akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada para pihak yang bersangkutan”.

Kewajiban PPAT yang tertuang dalam Kode Etik IPPAT yaitu :

  1. Berkepribadian baik dan menjunjung tinggi martabat dan kehormatan PPAT;
  2. Senantiasa menjunjung tinggi dasar Negara dan hokum yang berlaku serta bertindak sesuai dengan makna jabatan, kode etik dan berbahasa Indonesia secara baik dan benar;
  3. Mengutamakan penganbida kepada kepentingan masyarakat dan Negara;
  4. Memiliki perilaku professional dan ikut berpartisipasi dalam pembangunan nasional khususnya di bidang hokum;
  5. Bekerja dengan penuh rasa tanggung jawab, mandiri, jujur, dan tidak berpihak;
  6. Memberikan pelayanan dengan sebaik-baiknya kepada masyarakat yang memerlukan jasanya;
  7. Memberikan penyuluhan hokum kepada masyarakat yang memerlukan jasanya dengan maksud agar masyarakat menyadari dan menghayati hak dan kewajibannya sebagai warga Negara dan anggota masyarakay;
  8. Memberikan jasanya kepada anggota masyarakat yang tidak atau kurang mampu secara Cuma-Cuma;
  9. Bersikap saling menghormati, menghargai serta mempercayai dalam suasana kekeluargaan dengan sesame rekan sejawat;
  10. Menjaga dan membela kehormatan serta nama baik KORP PPAT atas dasar solidaritas dan sikap tolong menolong secara konstruktif;
  11. Bersikap ramah kepada setiap pejabat dan mereka yang ada hubungannya dengan pelaksanaan tugas jabatannya;
  12. Menetapkan suatu kantor dan kantor tersebut merupakan satu-satunya kantor bagi PPAT  yang bersangkutan dalam melaksanakan tugas jabatannya sehari-hari;
  13. Melakukan perbuatan-perbuatan lain yang secara umum disebut sebagai kewajiban untuk ditaati dan dilaksanakan antara lain namun tidak terbatas pada ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam :

1)      Peraturan perundangan yang mengatur jabatan PPAT;

2)      Isi sumpah jabatan;

3)      Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga ataupun keputusan-keputusan lain yang telah ditetapkan oleh perkumpulan IPPAT, misalnya :

–          Membayar iuran, uang duka manakala ada seorang PPAT atau mantan PPAT  yang meninggal dunia;

–          Mentaati ketentuan tentang tariff serta kesepakatan yang di buat oleh dan mengikat setiap anggota perkumpulan.

 

Hal tersebut jelas bahwa kewajiban yang harus dilaksanakan oleh PPAT dan tidak boleh dilalaikan guna membantu kelancaran proses pendaftaran tanah di Kantor Pertanahan.

  1. 6.      Hak PPAT

1) menerima uang jasa (honorarium) termasuk uang jasa (honorarium) saksi tidak melebihi 1% (satu persen) dari harga transaksi;

2) memperoleh cuti.

  1. 7.      Larangan PPAT

a. membuat akta untuk dirinya sendiri, suami atau istrinya, keluarga sedarah dalam garis lurus vertikal tanpa pembatasan derajat dan dalam garis ke samping derajat kedua, menjadi para pihak atau kuasa (psl 23 PP 37 Thn. 1998);

b. membuat akta PPAT terhadap tanah yang dalam sengketa (psl 38 ayat 1 PP 37 Thn 1998).

  1. 8.      Fungsi dan Tanggungjawab PPAT

Fungsi dan tanggung jawab PPAT serta tanggung jawab pertanahan beranjak dari sistem publikasi negatif dan kewajiban menilai dokumen, maka sebaiknya terdapat pembagian fungsi dan tanggung jawab antar PPAT dan petugas pendaftaran PPAT berfungsi dan bertanggung jawab :

1. Membuat akta yang dapat dipakai sebagai dasar yang kuat bagi pelaksanaan pendaftaran peralihan hak atau pembebanan hak pelaksanaan pendaftaran peralihan hak atau pembebanan hak.

2. PPAT bertanggung jawab terhadap terpenuhinya unsur kecakapan dan kewenangan penghadap dalam akta dan keabsahan perbuatan haknya sesuai data dan keterangan yang disampaikan kepada para penghadap yang dikenal atau diperkenalkan.

3. PPAT bertanggung jawab dokumen yang dipakai dasar melakukan tindakan hukum kekuatan dan pembuktiannya telah memenuhi jaminan kepastian untuk ditindaklanjuti dalam akta otentik dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

4. PPAT bertanggung jawab sahnya perbuatan hukum sesuai data keterangan para penghadap serta menjamin otensitas akta dan bertanggung jawab bahwa perbuatannya sesuai prosedur.

  1. 9.      Wilayah Kerja PPAT

Berdasarkan Pasal 5 PP No. 37/1998 dapat penulis jelaskan bahwa wilayah kerja PPAT adalah satu wilayah kerja kantor Pertanahan Kabupaten/Kota. Sedangkan untuk wilayah kerja PPAT Sementara dan PPAT Khusus meliputi wilayah kerjanya sebagai Pejabat Pemerintah yang menjadi dasar penunjukkannya. Apabila sebelum berlakunya PP No. 37/1998 ini, seseorang PPAT mempunyai wilayah kerja yang tidak sesuai dengan ketentuan yang ada pada PP No. 37/1998 (wilayah kerjanya melebihi satu wilayah kerja kantor pertanahan), maka PPAT tersebut harus memilih salah satu dari wilayah kerja tersebut atau setelah 1 (satu) tahun wilayah kerja PPAT tersebut sesuai denah tempat kantor PPAT tersebut berada.

Di dalam Pasal 5 ayat (1) disebutkan bahwa daerah kerja PPAT adalah satu wilayah kerja kantor Pertanahan Kabupaten/Kota. Selain itu juga diatur dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) PP No. 37/1998 adalah sebagai berikut :

1. Pasal 6 ayat (1) : apabila suatu wilayah Kabupaten/Kota dipecah menjadi dua atau lebih wilayah Kabupaten/Kota, maka dalam waktu 1 (satu) tahun sejak diundangkannya Undang-undang tentang pembentukan Kabupaten/Kota sebagai daerah kerja dengan ketentuan bahwa apabila pemilihan tersebut tidak dilakukan pada waktunya, maka mulai 1 (satu) tahun sejak diundangkannya undang-undang pembentukan Kabupaten/Kota baru tersebut daerah kerja PPAT yang bersangkutan hanya meliputi wilayah Kabupaten/Kota letak kantor PPAT yang bersangkutan.

2. Pasal 6 ayat (2) : Pemilihan Daerah kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlakunya dengan sendirinya mulai 1 (satu) tahun sejak di undang-undangkannya undang-undang pembentukan Kabupaten/Kota Daerah Tingkat I yang baru.

  1. B.     Tinjauan Umum tentang Camat sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara

Dengan dimungkinkannya Camat dapat diangkat untuk menjabat sebagai PPAT, maka kedudukan Camat, selain sebagai perangkat daerah juga diberikan kewenangan sebagai PPAT yang sifatnya sementara atau disebut PPAT-Sementara. Disebut sementara karena posisi jabatan tersebut tidak dipangku untuk selamanya tetapi hanya semasa camat yang bersangkutan memegang jabatan Camat di tempat tugas kecamatannya, apabila yang bersangkutan pindah tugas baik masih sebagai camat di daerah lain maupun sebagai pejabat di instansi lain, maka jabatan PPAT-nya juga lepas dengan sendirinya dengan kata lain putus hubungan hukum dengan tugas-tugasnya selaku PPAT.

Disebut jabatan sementara juga dimaksudkan apabila di daerah kecamatannya telah cukup pejabat umum (Notaris) sekalipun yang bersangkutan tetap memegang jabatan sebagai camat, maka dengan sendirinya jabatan PPAT-nya dapat diberhentikan.

Sekalipun disebut Sementara, namun ruang lingkup tugasnya demikian juga hak dan kewajibannya sama dengan PPAT yang diangkat dari pejabat umum, yakni berkewajiban membuat akta perbuatan hukum tertentu atas tanah apabila dimintakan bantuannya oleh warga pemilik tanah dan atas jasa pembuatan akta tersebut, maka yang bersangkutan berhak atas honor yang besarnya telah ditentukan oleh peraturan perundangan yang berlaku.

 

  1. 1.      Pengertian Camat

Luasnya wilayah Republik Indonesia dengan jumlah penduduk yang sangat banyak dan karena adanya tuntutan terlaksananya pembinaan masyarakat diberbagai sektor, maka Menteri Dalam negeri atas nama Pemerintah Pusat melimpahkan wewenangnya kepada pejabat-pejabat yang ada di daerah untuk melakukan pembinaan.

Para pejabat yang dimaksud adalah Kepala Wilayah yang merupakan penguasa tunggal wilayahnya. Mereka merupakan kepanjangan tangan pemerintah pusat dan bukan hasil pilihan rakyat melalui pemilu. Pengertian Camat ini dapat di lihat dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, yaitu

Pegawai Pamong Praja yang mengepalai Kecamatan.[13]

  1. 2.      Dasar Hukum Camat Sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Sementara

Dasar hukumnya dapat di lihat dalam Pasal 5 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor : 37 Tahun 1998, yaitu:

“ Untuk melayani masyarakat dalam pembuatan akta PPAT di daerah yang belum cukup terdapat PPAT, atau untuk melayani golongan masyarakat tertentu dalam pembuatan akta PPAT tertentu. Menteri dapat menunjuk pejabat-pejabat dibawah ini sebagai PPAT Sementara atau PPAT Khusus: Camat atau Kepala Desa untuk melayani pembuatan akta di daerah yang belum cukup terdapat PPAT, sebagai PPAT Sementara Peraturan Menteri Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006 Pasal 18 ayat (1) disebutkan bahwa dalam hal tertentu kepala Badan dapat menunjuk camat dan/atau Kepala Desa karena jabatannya sebagai PPAT Sementara.

  1. 3.      Tugas Camat Sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara

Camat sebagai PPAT Sementara, tugasnya sama dengan yang dilakukan oleh PPAT antara lain : untuk menyelenggarakan suatu daftar dari akta-akta yang dibuatnya antara lain reportorium ( daftar dari akta-akta yang telah dibuat), yang berisikan nama dari penghadap, sifat aktanya, jual beli, hibah , tanggal akta dibuatnya dan nomornya, identitas dari tanahnya/surat ukur dan luas tanahnya beserta bangunan yang termasuk permanen, semi permanen, darurat ) dan tanaman yang ada dan lain-lain keterangan.

 

 

  1. 4.      Kewajiban Camat Sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara

Camat sebagai PPAT Sementara mempunyai kewajiban untuk mengirimkan daftar laporan akta-akta PPAT Sementara setiap awal bulan dari bulan yang sudah berjalan kepada Badan Pertanahan Nasional Propinsi/Daerah, kepala Perpajakan, dan Kepala Kantor Pajak Bumi dan Bangunan. Selain itu PPAT Sementara juga mempunyai kewajiban membuat papan nama, buku daftar akta , dan menjilid akta serta warkah pendukung akta.

  1. 5.      Camat tanpa PPAT

Bagaimana dengan Camat tanpa PPAT, apakah berhak membuat akta tanah?, Pertanyaan itu layak dilontarkan, karena dalam praktek selama ini banyak ditemukan akta-akta camat yang bukan PPAT yang seolah-olah mengesahkan dan menguatkan perbuatan hukum tersebut dan menyebut dalam aktanya perbuatan hukum tersebut dilakukan di hadapannya dan dengan akta Camat tersebutlah sebagai bukti otentiknya, baik terhadap tanah dengan status tanah Negara, tanah milik adat maupun tanah yang sudah bersertipikat. Terhadap tanah Negara atau tanah yang belum bersertipikat, hal itu sesungguhnya tidak diperbolehkan dan merupakan perbuatan melawan hukum atau perbuatan yang melampaui kewenangannya.

Akta Camat tersebut selanjutnya dijadikan alas hak dalam mengurus pendaftaran tanahnya. Oleh karena instansi BPN tidak ingin mempersulit masyarakat pemohon, maka Akta Camat tersebut tetap dijadikan sebagai lampiran permohonannnya dan sebenarnya bukan dipandang sebagai alas hak, karena itu instansi BPN selalu meminta bukti tambahan berupa Surat Pernyataan Penguasaan Fisik Bidang Tanah dari yang bersangkutan yang cukup diketahui oleh Kepala Desa/Lurah setempat. Inilah yang dianggap sebagai alas haknya, bukan Akta Camat yang tidak punya dasar hukum tersebut.

Dalam tataran yuridis, baik diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1961 yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, Camat dan Kepala Desa/Lurah bukan bertindak untuk membuat akta tanah, tetapi Camat dan Kades/Lurah hanya dapat bertindak selaku wasit/pengawas, maksudnya apabila ada warganya yang melakukan perikatan/perjanjian jual beli tanah secara di bawah tangan, maka Camat dan Kepala Desa/Lurah hanya sebatas mengetahui,dalam kedudukannya selaku pejabat perangkat pemerintah daerah yang bertanggung jawab atas pelaksanaan tugas pemerintahan dan kemasyarakatan di daerahnya.

Bila Camat dan Kepala Desa/Lurah bertindak menguatkan perikatan/perjanjian jual beli tanah tersebut dengan membuatkan akta jual belinya, hal itu sangat salah besar. Silahkan warga masyarakat membuat perikatan jual beli dalam bentuk akta di bawah tangan misalnya untuk tanah garapan atau tanah Negara yang dikuasainya dan silahkan Camat dan Kepala Desa/Lurah membubuhkan tanda tangannya selaku pihak yang mengetahui saja, namun jangan sekali-kali membuat aktanya dengan alasan apapun.

Keterlibatan Camat lainnya dalam kedudukan bukan sebagai PPAT adalah dalam hal pembuatan Surat Keterangan Ahli Waris sebagai salah satu persyaratan dilakukannya peralihan/balik nama atas hak tanah karena warisan.

  1. C.    Tinjauan Umum tentang Pendaftaran Tanah
    1. 1.      Dasar Hukum Pendaftaran Tanah

Dasar hukum pendaftaran tanah tercantum dalam Pasal 19 Undang-Undang Pokok Agraria. Inti dari ketentuan tersebut menentukan bahwa pemerintah berkewajiban untuk mengatur dan menyelenggarakan pendaftaran tanah yang bersifat rechtskadaster di seluruh wilayah Indonesia yang diatur pelaksanaannya dengan Peraturan Pemerintah. Untuk melaksanakan Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria tersebut maka oleh Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 yang kemudian disempurnakan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Penyelenggaraan pendaftaran tanah tersebut diatur dalam Pasal 19 ayat (2) meliputi :

1) Pengukuran, penetapan, dan pembukuan tanah;

2) Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut;

3) Pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.

Sesuai dengan tujuan pendaftaran tanah yaitu akan memberikan kepastian hukum maka pemerintah juga diwajibkan bagi pemegang hak yang bersangkutan untuk mendaftarkan setiap ada peralihan, hapus dan pembebanan hak-hak atas tanah seperti yang diatur dalam Pasal 23, Pasal 32 dan Pasal 38 Undang-Undang Pokok Agraria.

  1. 2.      Pengertian Pendaftaran Tanah

Pendaftaran tanah berasal dari kata Cadaster atau dalam bahasa Belanda merupakan suatu istilah teknis untuk suatu record (rekaman) yang menerapkan mengenai luas, nilai dan kepemilikan terhadap suatu bidang tanah.[14]

Menurut Pasal 1 Peraturan Pemeintah Nomor 24 Tahun 1997 disebutkan bahwa :

“Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan, dan teratur meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian sertipikat sebagai surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya”.

Boedi Harsono merumuskan pengertian pendaftaran tanah sebagai suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan secara teratur dan terus menerus untuk mengumpulkan, mengolah, menyimpan dan menyajikan data tertentu mengenai bidang-bidang atau tanah-tanah tertentu yang ada di suatu wilayah tertentu dengan tujuan tertentu.[15]

  1. 3.      Tujuan Pendaftaran Tanah

Tujuan diselenggarakannya pendaftaran tanah pada hakekatnya sudah ditetapkan dalam Pasal 19 Undang-Undang Pokok Agraria yaitu bahwa pendaftaran tanah merupakan tugas pemerintah yang diselenggarakan dalam rangka menjamin kepastian hukum di bidang pertanahan (recht cadaster atau legal cadaster). Selain rechtcadaster, dikenal juga pendaftaran tanah untuk keperluan penetapan klasifikasi dan besarnya pajak (fiscal cadaster).

 

Di bawah ini dikutip selengkapnya ketentuan Pasal 19 Undang-Undang Pokok Agraria yaitu :

1) “Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.

2) Pendaftaran tersebut dalam ayat (1) Pasal ini meliputi :

(a) Pengukuran, pemetaan dan pembukuan tanah,

(b) Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut,

(c) Pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat”.

Adapun kepastian hukum yang dimaksud adalah meliputi:

1) Kepastian mengenai orang/badan hukum yang menjadi pemegang hak atas tanah tersebut. Kepastian berkenaan dengan siapakah pemegang hak atas tanah itu disebut dengan kepastian mengenai subyek hak atas tanah.

2) Kepastian mengenai letak tanah, batas-batas tanah, panjang dan lebar tanah. Kepastian berkenaan dengan letak, batas- batas dan panjang serta lebar tanah itu disebut dengan kepastian mengenai obyek hak atas tanah.

  1. 4.      Azas Pendaftaran Tanah

Berdasarkan Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 disebutkan bahwa pendaftaran tanah dilaksanakan berdasarkan 5 asas yaitu :

1) Asas Sederhana

Asas Sederhana dalam pendaftaran tanah dimaksudkan agar ketentuan-ketentuan pokoknya maupun prosedurnya dengan mudah dapat dipahami oleh pihak-pihak yang berkepentingan, terutama para pemegang hak atas tanah.

 

 

2) Asas Aman

Asas aman dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa pendaftaran tanah perlu diselenggarakan secara teliti dan cermat sehingga hasilnya dapat memberikan jaminan kepastian hukum sesuai tujuan pendaftaran tanah itu sendiri.

3) Asas Terjangkau

Asas terjangkau dimaksudkan agar pihak-pihak yang memerlukan, khususnya dengan memperhatikan kebutuhan dan kemampuan golongan ekonomi lemah. Pelayanan yang diberikan diberikan dalam rangka penyelenggaraan pendaftaran tanah harus bias terjangkau oleh pihak yang memerlukan.

4) Azas Mutakhir

Azas mutakhir dimaksudkan kelengkapan yang memadai dalam pelaksanaannya dan berkesinambungan dalam pemeliharaan datanya. Data yang tersedia harus menunjukkan keadaan yang mutakhir. Untuk itu perlu diikuti kewajiban mendaftar dan pencatatan perubahan-perubahan yang terjadi dikemudian hari.

5) Azas Terbuka

Dengan berlakunya azas terbuka maka data yang tersimpan di kantor pertanahan harus selalu sesuai dengan keadaan nyata lapangan dan masyarakat dapat memperoleh keterangan mengenai data yang benar setiap saat.

  1. 5.      Sistem Pendaftaran Tanah

                                    Ada 2 (dua) macam sistem pendaftaran tanah yaitu[16] :

a. Sistem pendaftaran akta (registration of deeds)

Dalam sistem pendaftaran akta, akta-akta itulah yang didaftar oleh pejabat pendaftaran tanah (PPT). pejabat pendaftaran tanah bersifat passif. Ia tidak melakukan pengujian kebenaran data yang disebut dalam akta yang didaftar. Tiap kali terjadi perubahan wajib dibuatkan akta sebagai buktinya. Maka dalam sistem ini, data yuridis yang diperlukan harus dicari dalam akta-akta yang bersangkutan.

b. Sistem pendaftaran hak (registration of titles)

Dalam sistem pendaftaran hak setiap penciptaan hak baru dan perbuatan-perbuatan hukum yang menimbulkan perubahan kemudian, juga harus dibuktikan dengan suatu akta. Tetapi dalam penyelenggaraan pendaftarannya, bukan aktanya yang didaftar melainkan haknya yang diciptakan dan perubahan-perubahnnya yang terjadi tersebut disediakan suatu daftar isian yang disebut register atau buku tanah.

  1. 6.      Sistem Publikasi Pendaftaran Tanah

Pada garis besarnya dikenal dua sistem publikasi yaitu sistem publikasi positif dan sistem publikasi negatif. Sistem publikasi positif selalu menggunakan sistem pendaftaran hak, maka harus ada buku tanah sebagai bentuk penyimpanan dan penyajian data yuridis, selain itu juga ada sertififkat hak sebagai surat tanda bukti hak.

Sistem publikasi negatif bukan pendaftarannya yang diperhatikan, tetapi sahnya perbuatan hukum yang dilakukan yang menentukan berpindahnya hak kepada pembeli, dimana pendaftaran tidak membuat orang yang memperoleh tanah dari pihak yang tidak berhak menjadi pemegang haknya yang baru.

Sistem publikasi yang digunakan dalam PP 24/1997 adalah sistem publikasi negatif yang mengandung unsur positif. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan PP 24/ 1997 Pasal 32 ayat (1) dan Penjelasannya. Dalam Pasal 32 ayat (1) disebutkan mengenai sertifikat sebagai alat pembuktian yang kuat yang berarti merupakan sistem publikasi positif karena melihat pada pendaftaran sebagai bukti hak.

Sementara dalam Penjelasan Pasal 32 disebutkan sertifikat tersebut sebagai tanda bukti yang kuat dalam arti bila tidak dapat dibuktikan sebaliknya, sehingga hak dari sertifikat tersebut menjadi tidak mutlak, bila dapat dibuktikan bahwa sertifikat tersebut didapatkan dengan melakukan perbuatan hukum yang tidak sah dalam jangka waktu 5 tahun. Disinilah unsur sistem publikasi negatif tersebut ada.

 

 

  1. 7.      Tata Cara Pendaftaran Tanah

                       

Tata cara Pendaftaran Tanah sebenarnya tidak serumit yang dibayangkan oleh masyarakat awam. Prosedur Pendaftaran Tanah dibedakan berdasarkan cara memperoleh hak atas tanah tersebut, yaitu :

a. Pendaftaran hak atas tanah yang belum pernah didaftarkan Kepemilikan hak atas tanah yang belum dikonversikan ke dalam hak atas tanah menurut UUPA.

b. Kepemilikan hak atas tanah berdasarkan peralihan hak yang disebabkan adanya perbuatan hukum/peristiwa hukum sehingga hak atas tanah berpindah seperti jual beli, waris, tukar-menukar, wakaf.

c. Pemberian hak

Untuk proses pendaftaran tanah bekas hak adat dibedakan menjadi dua, yaitu :

a. Dapat dilakukan dengan konversi langsung apabila hak atas tanah mempunyai :

1) Surat jual beli, hibah sebelum tanggal 23 Maret 1961 (asli)

2) Surat keterangan kepemilikan yang dibuat oleh Kepala Desa yang dikuatkan oleh camat setempat.

3) Surat bukti kewarganegaraan/ganti nama atau KTP bagi WNI keturunan (non pribumi).

4) Surat pelunasan pajak

5) Salinan buku C desa yang dibuat oleh Kepala Desa yang dikuatkan oleh camat setempat.

Adapun tata cara pendaftaran tanahnya adalah dengan melakukan hal-hal sebagai berikut :

1) Pemilik/ahli waris/pembeli mengajukan permohonan kepada Kantor Pertanahan setempat dengan menggunakan blanko formulir yang telah tersedia.

2) Pemilik hak (pemohon) setelah melengkapi persyaratan yang disebutkan di atas pendaftaran dan biaya pengukuran. Untuk biaya pengukuran sebesar 2,5% dari harga atas tanah yang didaftarkan.

3) Setelah biaya yang diperlukan dilunasi maka kegiatan selanjutnya adalah dilakukan pengukuran dan disaksikan oleh pemilik tanah yang berbatasan dengan obyek pendaftaran tanah.

4) Kemudian oleh Kantor Pertanahan diterbitkan pengumuman tentang permohonan hak atas tanah tersebut selama dua (2) bulan berturut-turut.

5) Setelah pengumuman berakhir dan tidakada pihak yang berkeberatan atas permohonan hak atas tanah tersebut, maka Kantor Pertanahan menerbitkan sertipikat tanah sebagai bukti kepemilikan atas tanah.

Dengan Proses Penegasan Hak Apabila :

1) Alasan kepemilikan hak tidak asli tetapi pemegang hak atas tanah tetap seperti pada tahun 1960.

2) Surat ketrangan Kepemilikan tanahdibuat oleh Kepala Desa yang dikuatkan oleh camat setempat.

3) Salinan buku C desa yang dibuat oleh Kepala Desa yang dikuatkan oleh camat setempat

4) Pelunasan Pajak

Tatacara pendaftaran tanahnya adalah sebagai berikut :

1) Pemilik/ahli waris/pembeli mengajukan permohonan kepada Kepala Kantor Pertanahan setempat dengan menggunakan Blanko formulir yang telah tersedia.

2) Permohonan diajukan kepada Panitia A pada Kantor Pertanahan dengan membayar biaya pendaftaran dan biaya pengukuran kepada panitia A.

3) Panitia A akan meneliti, memeriksa dan kemudian mengadakan pengukuran.

4) Kemudian oleh Kantor Pertanahan diterbitkan pengumuman tentang permohonan hak atas tanah tersebut selama (2) bulan berturut-turut.

5) Kantor pertanahan meneruskan dan mengusulkan permohonan tersebut ke Kantor wilayah BPN. Propinsi Jawa Tengah untuk mendapatkan penegasan/pengakuan hak.

6) Kantor wilayah BPN Propinsi Jawa Tengah menerbitkan surat keputusan penegasan / pengakuan hak yang salinannya diberikan kepada pemohon untuk didaftarkan ke Kantor Pertanahan setempat dengan prosedur seperti pendaftaran di atas.

Untuk pendaftaran tanah yang hak kuasa tanahnya berdasarkan peralihan hak, maka persyaratan yang harus dipenuhi adalah sebagai berikut :

1) Akta tentang peralihan hak yang dibuat oleh PPAT atau pejabat lain yang berwenang.

2) Sertipikat dari tanah yang bersangkutan dan jika tanah tersebut belum bersertipikat maka harus melalui konversi hak seperti yang dijelaskan di atas.

3) Pernyataan jumlah tanah yang dimiliki

4) Turunan surat kewarganegaraan Indonesia (suami-istri) yang disahkan oleh yang berwenang.

5) Ijin peralihan hak juga diperlukan.

Untuk pembagian harta warisan ada persyaratan lain yang harus dipenuhi, yaitu : Keterangan pelunasan pajak tanah sampai dengan saat meninggalnya pewaris. Sedangkan pendaftaran hak atas tanah yang dikarenakan lelang persyaratan lainnya yang harus dipenuhi adalah :

1) Kutipan otentik berita acara lelang yang dibuat oleh kantor lelang.

2) Tanda bukti lunas pembayaran pajak tanah

3) Sertipikat dari tanah yang bersangkutan

4) Turunan surat kewarganegaraan Indonesia (suami-istri) yang disahkan oleh yang berwenang

5) Pernyataan jumlah tanah yang dimiliki

6) Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT) yangdiminta sebelum dilelang dilaksanakan.

Untuk pendaftaran tanah yang kepemilikan tanahnya berdasarkan pemberian hak, dalam pendaftaran hak atas tanah melampirkan :

1) Asli surat keputusan pemberian hak atas tanah yang bersangkutan

2) Tanda bukti lunas pembayaran sebagaimana ditentukan dalam surat keputusan pemberian hak atas tanah tersebut. Uang yang dimaksudkan ini adalah uang pemasukan atau biaya administrasi dengan perincian sebagai berikut :

1) Dibayarkan pada Kantor Bendahara Negara untuk membayar uang pemasukkan kepada koperasi atau biaya administrasi.

2) Dibayar pada Bank untuk uang pemasukkan bagi yayasan dana Landreform.

Membayar uang pendaftaran

Untuk sertipikat tanah yang hilang atau rusak maka pemilik hak atas tanah dapat meminta ganti sertipikat (sertipikat II) dengan melengkapi surat-surat sebagai berikut :

a. Surat permohonan sertipikat baru

b. Surat pernyataan dari kepolisian tentang hilangnya sertipikat hak atas tanah yang bersangkutan.

 

  1. D.    Peranan PPAT dalam Pelaksanaan Pensertifikatan Tanah Hak Milik

Berkenaan dengan peranan PPAT dalam pelaksanaan Pensertipikatan Tanah Hak Milik , bahwa PPAT sangat berperan dalam memberikan kepastian hukum terhadap proses pensertipikatan tanah. Misalnya apabila terjadi peralihan hak atas tanah bekas milik adat (letter C/D) baik jual beli maupun hibah, maka terhadap tanah tersebut harus dibuatkan akta jual beli/hibah. peranan PPAT dalam pelaksanaan Pensertipikatan Tanah Hak Milik adalah memberikan kepastian dan perlindungan hukum.

Akta otentik sebagai alat bukti terkuat dan terpenuh mempunyai peranan penting dalam setiap hubungan hukum dalam kehidupan masyarakat. Dalam berbagai hubungan bisnis, kegiatan di bidang perbankan, pensertipikatan tanah, kegiatan sosial, dan lain-lain kebutuhan akan pembuktian tertulis berupa akta otentik makin meningkat sejalan dengan berkembangnya tuntutan akan kepastian hukum dalam berbagai hubungan ekonomi dan sosial, baik pada tingkat nasional, regional maupun global. Melalui akta otentik yang menentukan secara jelas hak dan kewajiban, menjamin kepastian hukum, dan sekaligus diharapkan pula dapat dihindari terjadinya sengketa. Walaupun sengketa tersebut tidak dapat dihindari, dalam proses penyelesaian sengketa tersebut akta otentik akan merupakan alat bukti tertulis yang kuat dan memberikan sumbangan nyata bagi penyelesaian perkara secara murah dan cepat.

Akta otentik pada hakikatnya memuat kebenaran formal sesuai dengan apa yang diberitahukan para pihak kepada PPAT. Namun PPAT mempunyai kewajiban untuk memastikan bahwa apa yang termuat dalam Akta PPAT sungguh-sungguh telah dimengerti dan sesuai dengan kehendak para pihak, yakni dengan cara membacakannya sehingga menjadi jelas isi Akta PPAT, serta memberikan akses terhadap informasi, termasuk akses terhadap peraturan perundang-undangan yang  terkait bagi para pihak penandatangan akta. Dengan demikian, para pihak dapat menentukan dengan bebas untuk menyetujui atau tidak menyetujui isi Akta PPAT yang akan ditandatanganinya.

 

1)      Faktor-Faktor yang menjadi Penghambat bagi PPAT dalam Melaksanakan Pensertifikatan Tanah Hak Milik

Faktor-faktor yang menjadi penghambat dalam proses Pensertipikatan Tanah Hak Milik, antara lain adalah:

(1) Surat-surat tanah yang tidak lengkap sehingga memerlukan surat keterangan dari Lurah atau Kepala Desa;

(2) Saksi yang menguatkan batas-batas tanah dalam menentukan obyek hak milik tidak ada, sehingga tidak bisa dipertanggungjawabkab secara hukum atas tanah hak milik tersebut;

(3) Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) tidak jelas sehingga tida bisa ditentukan besarnya pajak BPHTB.

(4) Bukti pembayaran atas pembelian tanah tersebut belum memenuhi syarat untuk pensertipikatan karena pembayarannya belum lunas. Sudah barang tentu, bukti pembayaran seperti itu belum dapat digunakan sebagai syarat pensertipikatan karena akan menimbulkan permasalahan berbagai pihak, yakni penjual, pembeli, Notaris dan PPAT

Peranan PPAT dalam memberikan perlindungan dan kepastian hukum terhadap pensertipikatan tanah tentunya adalah dengan memeriksa secara seksama berkas yang diajukan pemohon dan mengembalikannya bila kurang lengkap atau kurang kuat secara hukum tesebut yang dapat merugikan berbagai pihak. Tindakan itu akan lebih tepat bila disertai dengan penjelasan yang logis dan jelas sehingga dapat diterima oleh pihak pemohon.

2)      Upaya PPAT dalam Mengatasi Faktor Penghambat Pelaksanaan Pensertifikatan Tanah Hak Milik

 

Berdasarkan faktor-faktor yang menjadi kendala dalam Pensertipikatan Tanah Hak Milik PPAT meminta pihak yang bersangkutan agar:

a. Melengkapi berkas dengan surat keterangan tanah yang akan dibuatkan sertifikatnya. Sebagaimana telah dijelaskan bahwa syarat untuk mengajukan permohonan pendaftaran tanah adalah:

1)   Surat permohonan dari pemilik tanah untuk melakukan pensertipikatan tanah miliknya;

2)    Surat kuasa apabila kepengurusannya dikuasakan kepada orang lain.

3)   Identitas diri pemilik tanah (pemohon), yang dilegalisir oleh pejabat umum yang berwenang dan atau kuasanya;

4)   Bukti hak atas tanah yang dimohonkan, yakni: (1) surat tanda bukti hak milik yang diterbitkan berdasarkan peraturan swapraja yang bersangkutan, (2) sertifikat hak milik yang diterbitkan berdasarkan PMA No. 9/1959, (3) surat keputusan pemberian hak milik dari pejabat yang berwenang, baik sebelum ataupun sejak berlakunya UUPA yang tidak disertai kewajiban untuk mendaftarkan hak yang diberikan tetapi telah dipenuhi semua kewajiban yang disebut di dalamnya; (4) Akta pemindahan hak atas tanah yang dibuat PPAT yang tanahnya belum dibukukan disertai atas hak yang dialihkan, dan lain-lain.

5)   Bukti lainnya apabila tidak ada surat bukti kepemilikan, berupa Surat Pernyataan Penguasaan Fisik lebih dari 20 tahun secara terus menmerus dan surat keterangan Kepala Desa/Lurahdisaksikan 2 orang tetua adat/penduduk setempat;

6)    Surat pernyataan telah mememasang tanda batas;

7)    Fotokopi SPPT PBB tahun berjalan;

8)   Fotokopi SK Ijin Lokasi dan surat keterangan lokasi apabila pemohon adalah badan hukum.

9)Melengkapi kesaksian terhadap batas-batas tanah yang akan dibuatkan sertifikatnya.

10) Mengurus NJOP tahun berjalan ke Kantor PBB.

 

Petugas Pembuat Akta Tanah atau PPAT dapat saja terseret ke dalam kasuskasus hukum manakala terdapat hal-hal yang tidak sesuai dengan apa yang tercantum dalam akta, seperti: (1) tanggal di dalam akta tidak sesuai dengan kehadiran para pihak; (2) para pihak tidak hadir, tetapi ditulis hadir; (3) para pihak tidak membubuhi tanda tangan tetapi ditulis atau ada tanda tangannya; (4) akta sebenarnya tidak dibacakan tetapi diterangkan telah dibacakan; (5) luas tanah berbeda dengan yang diterangkan oleh para pihak, (6) PPAT ikut campur tangan terhadap syarat-syarat perjanjian; (7) pencantuman dalam akta bahwa pihak-pihak sudah membayar lunas apa yang diperjanjikan padahal sebenarnya belum lunas atau bahkan belum ada pembayaran secara riil; (8) pencantuman pembacaan akta yang harus dilakukan oleh PPAT sendiri, padahal tidak dilakukan; (9) pencantuman mengenal orang yang menghadap padahal sebenarnya tidak mengenalnya. Hal-hal yang menyimpang dari tanggung jawab moral PPAT ini perlu dihindari sehingga PPAT benar-benar dapat melakukan tugasnya dengan baik.

  1. E.     Perbedaan Notaris dan PPAT

1. Dasar Hukum :

Notaris    : Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 : tentang Jabatan Notaris (UUJN).

PPAT     :  Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 : tentang Peraturan Jabatan PPAT (PJPPAT), Kode Etik Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.

2. Pengangkatan :

Notaris                  : oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.

PPAT                    : oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional.

3. Definisi :

Notaris : Pasal 1 UUJN : Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.

PPAT     :  Pasal 1 PJPPAT : Pejabat Pembuat Akta Tanah, selanjutnya disebut PPAT, adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai Hak Atas Tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.

 

4. Wewenang :

Notaris :  Pasal 15 UUJN : Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan,perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundangundangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta.

Selain itu Notaris berwenang pula :

a. mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;

b. membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;

c. membuat kopi dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan;

d. melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya;

e. memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta;

f. membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau

g. membuat akta risalah lelang.

PPAT     :  Pasal 2 PJPPAT : PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat Akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu.

Akta yang dapat dibuat PPAT adalah sebagai berikut :

a. jual beli;

b. tukar menukar;

c. hibah;

d. pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng);

e. pembagian hak bersama;

f. pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas Tanah Hak Milik;

g. pemberian Hak Tanggungan;

h. pemberian Kuasa membebankan Hak Tanggungan.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas jelas terdapat perbedaan kewenangan antara Notaris dengan PPAT. Seorang Notaris memiliki kewenangan lebih luas dibanding seorang PPAT.

 

 

 

 

 

BAB III

ANALISIS KASUS

 

Pada tahun 1983 Kepala Desa Hargobinangun pernah mengirimkan Putusan Desa tentang jual beli tanah pekarangan antara Raden Sukardjiyo sebagai kuasa Sukarno (sebagai penjual) dengan Sri Amindayah sebagai pembeli, kemudian setelah diteliti putusan memenuhui syarat secara formal maupun materiil, lalu disahkan oleh camat, kemudian diteruskan ke kabupaten untuk pengesahan.

Bahwa di lain waktu Kepala Desa Hargobinangun mengirimkan pula putusan desa yang isinya jual beli tanah pekarangan yang sama, tetapi luasnya berbeda, antara R.Sukardjiyo sebagai kuasa Sukarno (sebagai penjual) dengan Siswatuti sebagai pembeli. Tanah yang telah dijual kepada seseorang kemudian dijual kembali kepada  orang lain, artinya tanah tersebut telah dijual dua kali oleh pemilik tanah tersebut.

Salah satu penyebab terjadinya sengketa tanah yang berakta jual beli ganda adalah pemberian kuasa kepada penerima kuasa yang tidak bertanggung jawab, penerima kuasa akan melakukan berbagai cara untuk mendapatkan keuntungan salah satunya dengan pemalsuan tanda tangan, pemberian kuasa sebaiknya harus memuat wewenang apa saja yang diberikan kepada penerima kuasa.

 

Analisis :

Dengan adanya kasus diatas, dimana telah terbitnya sebuah sertifikat tanah ganda maka dalam hal ini camat yang mengesahkan putusan tersebut harus dapat membuktikan manakah sertifikat tanah dan pembeli tanah yang asli. Karena jelas bahwa adanya unsure pemalsuan tandatangan dari pihak penerima kuasa yang ingin mencari keuntungan.

Juga harus dipertanyakan bagaimana kinerja camat disini dalam mengesahkan putusan tersebut,juga apakah camat ini merupakan camat dengan PPAT atau camat tanpa PPAT.

Karena disebutkan bahwa camat hanya mengesahkan saja berarti ini merupakan camat tanpa PPAT.  Maka jelas adanya keterlibatan PPAT dalam penerbitan sertifikat ganda ini,sehingga dengan sendirinya telah melanggar kode etik IPPAT dan peraturan perundangan yang berlaku.

Dalam memastikan manakah sertifikat tanah yang asli, bisa dengan cara dilihat tanggal penerbitan sertifikat yang terlebih dahulu di terbitkan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB IV

PENUTUP

  1. A.    Kesimpulan

Dari pembahasan pada bab sebelumnya maka kesimpulan yang dapat diambil sebagai berikut :

  1. Fungsi dan Tugas Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam Pendaftaran Tanah adalah : Pejabat Pembuat Akta Tanah mempunyai peranan selaku pejabat yang mempunyai fungsi dan tugas untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu menurut peraturan perundang-undangan yang bersangkutan (pembuatan akta jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan kedalam perusahaan (inbreng), pembagian hak bersama, pemberian hak guna bangunan / hak pakai atas tanah, hak milik pemberian hak tanggungan);
  2. Pada kenyataannya meskipun seorang PPAT telah membuat akta yang didasarkan atas undang-undang dan ketentuan hukum yang berlaku, namun masih sering terjadi adanya ketidak puasan atas akta PPAT tersebut. Dimana ketidak puasan tersebut berlanjut dengan diajukannya gugatan ke Pengadilan Negeri dengan tujuan agar akta yang dibuat PPAT tersebut dibatalkan atau dinyatakan tidak sah.

 

  1. B.     Saran
    1. Karena peranan PPAT sangat berperan dalam pelaksanaan Pensertipikatan Tanah Hak Milik, diharapkan dapat mempertahankan peran tesebut dengan melaksanakan tugas dan kewenangannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
    2. Untuk memperkecil hambatan yang terjadi dalam pelaksanaan Pensertipikatan Tanah Hak Milik, penting sekali adanya sosialisasi secara periodik dari pihak Badan Pertanahan Nasional.

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Buku-Buku :

 

AP.Parlindung, Pendaftaran Tanah dan Konfersi Hak Milik Atas Tanah menurut UUPA, Alumni, Bandung, 1988.

Boedi Harsono, Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah, Djambatan, Jakarta, 2000.

____________, Hukum Agraria Indonesia, SejarahPembentukan UUPA, Isi dan Pelaksanaanya, Djambatan, Jakarta, 2005.

Effendi Perangin-Angin, Hukum Agrarian di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994.

Hasan Wargakusuma, Hukum Agraria I, PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Maria dan Sumardjono, Kebijakan Pertanahan, Buku Kompas, Jakarta, 2007.

Poerwodharminto, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1999.

 

Peraturan Perundang-undangan :

Kode Etik Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.

Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah  : Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No.1 Tahun 2006.

Undang-Undang Pokok Agraria.

 

Search Engine :

http://www.hukumonline.com


[1] Ketentuan PelaksanaanPeraturan Pemerintah tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuata Akta Tanah:

Peraturan Kepala BPN No. 1 Tahun 2006. Media Makmur Majumandiri, Jakarta, 2007 , hlm . 3.

[2] Effendi Perangin-angin, Hukum Agraria di Indonesia , Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994, hlm. 3.

[3] Maria & Sumardjono, Kebijakan Pertanahan, Buku Kompas,  Jakarta, 2007, hlm. 145.

[4] Ketentuan PelaksanaanPeraturan Pemerintah tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuata Akta Tanah:

Peraturan Kepala BPN No. 1 Tahun 2006. Media Makmur Majumandiri, Jakarta, 2007 , Op. Cit., hlm. 9.

 

 

[5] Ibid., hlm. 12.

[6] Ibid.

[7] Ibid., hlm. 5-6.

[8] Boedi Harsono, Himpunan Peraturan-peraturan Hukum Tanah, Djambatan,  Jakarta, 2000, hlm. 52.

[9] Ketentuan PelaksanaanPeraturan Pemerintah tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuata Akta Tanah:

Peraturan Kepala BPN No. 1 Tahun 2006. Media Makmur Majumandiri, Jakarta, 2007 , Op. Cit., hlm. 4-5.

 

[10] Ibid., hlm. 33.

[11] Ibid., hlm. 39.

[12] Ibid., hlm. 39-40.

[13] Poerwodharminto, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka,  Jakarta, 1999, hlm. 181.

[14] AP. Parlindungan, Pendaftaran Tanah dan Konfersi Hak Milik Atas Tanah menurut UUPA,

Alumni,  Bandung, 1988, hlm. 2.

[15] Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan UUPA, Isi dan

Pelaksanaannya , Djambatan, Jakarta, 2005, hlm. 474.

[16] Hasan Wargakusumah, Hukum Agraria I, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995, hlm. 76-78.

10 thoughts on “Kode Etik Profesi Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)

  1. sungguh2 cerdas pembuat artikel ini, bermanfaat bagi saya yang sedang mencari PPAT di desa, dari artikel tersebut saya baru mengetahui adanya PPATS.

Tinggalkan komentar