BAB I
PENDAHULUAN
- A. Latar Belakang
Perkembangan hukum selalu di ikuti oleh perubahan yang terjadi di masyarakat seperti yang di ungkapkan Ehrlich dalam Munir Fuadi yang mengatakan bahwa Perkembangan hukum tidak terletak pada undang-undang, tidak juga terletak pada ilmu hukum, tidak juga pada putusan pengadilan, akan tetapi terletak pada masyarakat itu sendiri.[1]
Dinamika masyarakat berpengaruh terhadap semakin beragamnya pula tindak pidana yang ada ditengah masyarakat, seperti dengan semakin majunya teknologi informasi, maka kejahatan di bidang teknologi informasi semakin marak yang dikenal dengan cyber crime yang menghasilkan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Perkembangan masyarakat yang sangat cepat mengharuskan adanya kemampuan hukum untuk bisa beradaptasi dengan perubahan yang ada, sehingga anggapan bahwa hukum selalu tertinggal dari perubahan masyaraat bisa dibantah.
Akan tetapi pada kenyataannya kita dihadapkan dengan realita bahwa hukum positif kita, dalam hal ini Kitab Undang-undang Hukum Pidana, masih merupakan produk hukum lama yang di buat di masa lalu yang tentunya kondisi masyarakat pada saat itu berbeda dengan saat sekarang. Selain itu kesesuaian antara semangat dari isi sumber hukum pidana tersebut bisa dikatakan berbeda dengan spirit bangsa Indonesia karena sumber hukum pidana kita dalam hal ini Kitab Undang-undang Hukum Pidana adalah buatan bangsa Eropa yang jelas memiliki banyak perbedaan dengan semangat atau jiwa bangsa Indonesia.
Ketimpangan hukum ini mengharuskan para pemikir hukum dan pengemban kebijakan di Indonsia untuk mencari formulasi yang tepat agar bisa tercipta suatu bangunan Hukum positif yang ideal di Indonesia, apabila di biarkan akan terjadi ketidakpastian hukum dan kewibawaan hukum akan hilang yang pada akhirnya yang ada adalah eiginrechting atau ketidak percayaan masyarakat kepada hukum.
Menurut Andi Hamzah Hukum pidana Indonesia (baca: KUHP) yang nama aslinya Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie (WvSNI), merupakan produk asli bangsa Belanda yang diterapkan bagi bangsa Indonesia. Baru kemudian dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie tersebut berubah nama menjadi Wetboek van Strafrecht (WvS), dan dapat disebut dengan Kitab Undang-undang Hukum Pidana[2]. Perubahan nama itu diikuti dengan perubahan istilah, penambahan beberapa tindak pidana, dan perubahan ancaman hukuman yang sifatnya tambal sulam agar tampak lebih meng-Indonesia. Setelah sekian lama KUHP tersebut berlaku di Indonesia,terbukti masih saja menyisakan berbagai masalah sosial di Indonesia. Permasalahan-permasalahan sosial yang muncul, tidak secara otomatis kemudian selesai dengan hanya menerapkan pasal-pasal dalam KUHP tersebut. Ada banyak faktor sosiologis bangsa Indonesia yang membuat KUHP itu malah merugikan bangsa. Apalagi, perkembangan teknologi yang sedemikian global membuat KUHP lebih tampak usang, out of date.
Secara lebih mendasar KUHP memang memiliki jiwa yang berbeda dengan jiwa bangsa Indonesia. KUHP warisan zaman Hindia Belanda ini berasal dari sistem hukum kontinental (Civil Law System) atau menurut Rene David disebut dengan the Romano-Germanic family.[3]
The Romano Germanic family ini dipengaruhi oleh ajaran yang menonjolkan aliran individualisme dan liberalisme (individualism, liberalism, and individual right). Hal ini sangat berbeda dengan kultur bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi nilai-nilai sosial. Jika kemudian KUHP ini dipaksakan untuk tetap berlaku, benturan nilai dan kepentingan yang muncul tidak mustahil justru akan menimbulkan kejahatan-kejahatan baru.[4]
Masalah delik perzinahan merupakan salah satu contoh aktual adanya benturan antara pengertian dan paham tentang zina dalam KUHP dengan kepentingan/nilai sosial masyarakat. Benturan-benturan yang sering terjadi di masyarakat, acapkali menimbulkan kejahatan baru seperti pembunuhan, penganiayaan, atau main hakim sendiri. Hal ini diperparah dengan lemahnya praktek penegakan hukum.
Banyak aspek yang menjadi masalah di masyarakat akibat dari ketimpangan ini, salah satunya adalah konsepsi mengenai perzinahan dalam KUHP dengan konsepsi perzinahan yang dianut oleh sebagian besar masyarakat di Indonesia, dalam KUHP seseorang dikatakan melakukan perzinahan (overspel) ketika salah satu diantara pelakunya berada dalam ikatan pernikahan sehingga dengan kata lain apabila dilakukan oleh orang yang tidak berada dalam ikatan pernikahan dan dilakukan tanpa paksaan tidak di katagorikan sebagai perbuatan zina menurut KUHP dan tidak bisa di hukum.
Konsep ini jelas bertentangan dengan nilai yang dianut oleh sebagian besar masyarakat di Indonesia yang beragama Islam dan juga nilai-nilai adat Bangsa Indonesia tentang perzinahan yang pada hakikatnya perzinahan adalah perbuatan yang dilakukan oleh orang di luar ikatan pernikahan yang sah.
- B. Identifikasi Masalah
Dari latar belakang diatas dapat diambil identifikasi masalah sebagai berikut :
- Bagaimana konsep delik perzinahan menurut Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)?
- Bagaimana konsep perzinahan menurut Hukum Islam?
BAB II
STUDI PERBANDINGAN TERHADAP KONSEP PERZINAHAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP) DENGAN KONSEP PERZINAHAN MENURUT HUKUM ISLAM
- A. Konsep Perzinahan Menurut Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
1. Kedudukan Pasal 284 Mengenai Delik Perzinahan dalam KUHP
Delik perzinahan (overspel) diatur dalam Pasal 284 KUHP yang dapat dikategorikan sebagai salah satu kejahatan terhadap kesusilaan. Delik-delik kesusilaan dalam KUHP terdapat dalam dua bab, yaitu Bab XIV Buku II yang merupakan kejahatan dan Bab VI Buku III yang termasuk jenis pelanggaran.
Yang termasuk dalam kelompok kejahatan kesusilaan meliputi perbuatan-perbuatan:
- Yang berhubungan dengan minuman, yang berhubungan dengan kesusilaan di muka umum dan yang berhubungan dengan benda- benda dan sebagainya yang melanggar kesusilaan atau bersifat porno (Pasal 281 – 283);
- Zina dan sebagainya yang berhubungan dengan perbuatan cabul dan hubungan seksual (Pasal 284-296);
- perdagangan wanita dan anak laki-laki di bawah umur (Pasal 297);
- yang berhubungan dengan pengobatan untuk menggugurkan kandungan (Pasal 299);
- memabukkan (Pasal 300);
- menyerahkan anak untuk pengemisan dan sebagainya (Pasal 301);
- penganiayaan hewan (Pasal 302);
- perjudian (Pasal 303 dan 303 bis).
Adapun yang termasuk pelanggaran kesusilaan dalam KUHP meliputi perbuatan-perbuatan sebagai berikut :
- mengungkapkan atau mempertunjukkan sesuatu yang bersifat porno (Pasal 532-535);
- yang berhubungan dengan mabuk dan minuman keras (Pasal 536-539);
- yang berhubungan dengan perbuatan tidak susila terhadap hewan (Pasal 540, 541 dan 544);
- meramal nasib atau mimpi (Pasal 545);
- menjual dan sebagainya jimat-jimat, benda berkekuatan gaib dan memberi ilmu kesaktian (Pasal 546);
- memakai jimat sebagai saksi dalam persidangan (Pasal547).
Ketentuan-ketentuan pidana yang diatur dalam Bab XIV mengenai kejahatan-kejahatan terhadap kesusilaan ini sengaja dibentuk oleh pembentuk undang-undang dengan maksud untuk melindungi orang-orang dari tindakan-tindakan asusila dan perilaku-perilaku baik dengan ucapan maupun dengan perbuatan yang menyinggung rasa susila karena bertentangan dengan pandangan orang tentang kepatutan-kepatutan di bidang seksual, baik ditinjau dari segi pandangan masyarakat setempat maupun dari segi kebiasaan masyarakat dalam menjalankan kehidupan seksual mereka[5].
Sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Wiryono Prodjodikoro bahwa kesusilaan itu mengenai juga tentang adat kebiasaan yang baik, tetapi khusus yang sedikit banyak mengenai kelamin (sex) seorang manusia. Dengan demikian, pidana mengenai delik kesusilaan semestinya hanya perbuatan-perbuatan yang melanggar norma-norma kesusilaan seksual yang tergolong dalam kejahatan terhadap kesusilaan[6]. Akan tetapi menurut Roeslan Saleh, pengertian kesusilaan hendaknya tidak dibatasi pada pengertian kesusilaan dalam bidang seksual saja, tetapi juga meliputi hal-hal lain yang termasuk dalam penguasaan norma-norma bertingkah laku dalam pergaulan masyarakat.[7]
- 2. Sejarah Pembentukan Pasal 284 KUHP
Pada zaman dahulu terdapat perbedaan pandangan mengenai kejahatan perzinahan mengenai perlu atau tidaknya dipandang sebagai suatu perbuatan yang terlarang dan dapat diancam dengan pidana.
Menurut hukum Romawi, pihak wanita sajalah yang dapat dipersalahkan telah melakukan perzinahan. Jika terdapat isteri melakukan hubungan kelamin dengan laki-laki lain yang bukan suaminya, maka ia telah dipandang sebagai seorang istri yang merugikan hak seorang suami untuk menuntut kesetiaan dari isterinya dalam perkawinan. Perlakuan di depan hukum yang tidak seimbang antara wanita denga pria itu kemudian berlanjut pada Code Penal Perancis.
Berbeda dengan hukum Romawi yang memandang wanita lebih rendah kedudukannya di depan hukum dibandingkan dengan pria, ternyata hukum gereja Katholik telah menempatkan kedudukan wanita itu sederajat dengan kedudukan pria di depan hukum. Oleh karena itu, perzinahan dipandang sebagai perbuatan dosa yang dapat dilakukan oleh pria maupun wanita, dan dipandang sebagai suatu penodaan terhadap ikatan suci dari perkawinan.
Pandangan gereja Katholik tentang kedudukan hukum yang sederajat antara pria dengan wanita itu telah diikuti oleh pembentuk undang-undang di negeri Belanda yang dapat dilihat cara mereka merumuskan ketentuan-ketentuan pidana dalam Pasal 340 sampai dengan Pasal 344 Criminal Wetboek voor het Koninklijk Holland (KUHP Belanda) yang mengatur perzinahan sebagai sutau perbuatan yang terlarang dan dapat diancam pidana.
Semula saat Wetboek van Strafrecht (KUHP) itu dibentuk, perzinahan tidak dimasukkan ke KUHP sebagai sebuah delik (kejahatan). Akan tetapi atas usul Mr. Modderman, perzinahan dimasukkan sebagai salah satu perbuatan yang terlarang dalam Wetboek van Strafrecht (WvS). Alasan yang dipakai Mr. Modderman adalah apabila perzinahan itu tidak diatur dalam WvS dikhawatirkan akan mendatangkan kerugian bagi kesusilaan.
Atas usul Modderman itu, kemudian perzinahan dicantumkan sebagai salah satu delik kesusilaan di dalam WvS yang sedang dibentuk. Dengan demikian wanita diberi kedudukan yang sama dengan pria yaitu bukan hanya berkedudukan sebagai subyek dari tindak pidana perzinahan akan tetapi berkedudukan pula sebagai pihak yang sama. Artinya, pihak wanita berhak pula mengajukan pengaduan dan gugatan perceraian jika perbuatan itu dipandang perlu baginya.[8]
- 3. Pengertian Overspel
Dari berbagai terjemahan WvS yang beredar di pasaran, para pakar hukum Indonesia berbeda pendapat mengenai penggunaan istilah pengganti dari overspel. Hal ini dikarenakan bahasa asli yang digunakan dalam KUHP adalah bahasa Belanda. Ada pendapat yang menggunakan istilah zina. Sedangkan pendapat lain menggunakan kata atau istilah mukah atau gendak.
Oleh karena itu, melihat ketentuan Pasal 284 sedemikian rupa,
maka overspel yang dapat dikenai sanksi pidana menurut KUHP adalah:
- Persetubuhan dilakukan oleh mereka yang sudah menikah saja. Apabila pasangan ini belum menikah kedua-kedunaya, maka persetubuhan mereka tidak dapat dikualifikasikan sebagai overspel, hal mana berbeda dengan pengertian berzina yang menganggap persetubuhan antara pasangan yang belum menikah juga termasuk di dalamnya.
- Partner yang disetubuhi, yang belum menikah hanya dianggap sebagai peserta pelaku (medepleger). Ini berarti apabila partner yang disetubuhi telah menikah juga, yang bersangkutan dianggap bukan sebagai peserta pelaku.
- Persetubuhan tidak direstui oleh suami atau pun isteri yang bersangkutan. Secara a contrario dapat dikatakan kalau persetubuhan itu direstui oleh suami atau isteri yang bersangkutan maka itu bukan termasuk overspel.
4. Unsur-Unsur Dapat di Pidananya Perzinahaan Menurut Pasal 284 KUHP
Menurut asas-asas yang berlaku dalam hukum pidana, unsur-unsur tindak pidana merupakan syarat-syarat untuk menentukan sampai di mana perbuatan seorang manusia dapat dikenakan hukuman/pidana. Unsur-unsur itu meliputi perbuatan manusia yang memenuhi rumusan undang-undang dan bersifat melawan hukum serta unsur orang atau pelakunya, yakni adanya kesalahan pada diri pelaku.
Tindak pidana perzinahan atau overspel yang dimaksud dalam Pasal 284 KUHP ayat (1) KUHP itu merupakan suatu opzettleijk delict atau merupakan tindak pidana yang harus dilakukan dengan sengaja[9].
Ini berarti bahwa unsur kesengajaan itu harus terbukti pada si pelaku agar ia dapat terbukti sengaja dalam melakukan salah satu tindak pidana perzinahan dari tindak pidana-tindak pidana perzinahan yang diatur dalam Pasal 284 ayat (1) KUHP.
Adapun mengenai kesengajaan ini, KUHP tidak memberikan definisi secara jelas. Petunjuk untuk mengetahui arti kesengajaan dapat diambil dari Memorie van Toelchting (MvT) yang mengartikan kesengajaan (opzet) sebagai menghendaki dan mengetahui (willens en wettens). Sehingga dapat dikatakan bahwa sengaja berarti menghendaki dan mengetahui apa yang ia lakukan[10]. Apabila unsur kesengajaan dari pelaku zina ini tidak dapat dibuktikan maka pelaku tidak terbukti menghendaki atau tidak terbukti mengetahui perzinahan yang dilakukan, sehingga hakim harus memutuskan bebas dari tuntutan hukum (onslag van rechtsvervolging) bagi pelaku.
Menurut Simons, untuk adanya suatu perzinahan menurut Pasal 284 KUHP itu diperlukan adnya suatu vleeslijk gemeenschap atau diperlukan adanya suatu hubungan alat-alat kelamin yang selesai dilakukan antara seorang pria dengan seorang wanita11. Sehingga apabila dilakukan oleh dua orang yang berjenis kelamin sama bukan merupakan perzinahan yang dimaksud dalam Pasal 284 KUHP .
Syarat lain yang perlu diperhatikan agar perbuatan melakukan hubungan kelamin antara seorang pria dengan seorang wanita yang salah satu atau keduanya telah kawin dapat disebut sebagai delik perzinahan menurut KUHP adalah bahwa tidak adanya persetujuan diantara suami isteri itu. Artinya jika ada persetujuan di antara suami dan isteri, misal suami yang bekerja sebagai mucikari dan isterinya menjadi pelacur bawahannya maka perbuatan semacam itu bukanlah termasuk perbuatan zina. Hal ini didasarkan pada Hooge Raad dalam Arrestnya tanggal 16 Mei 1946 N.J. 1946 Nomor 523 yang telah disebutkan di muka.
- 5. Permasalahan yang Muncul Berkenaan dengan Pasal 284 KUHP
Berdasarkan Pasal 284 KUHP, perbuatan yang disebut sebagai perzinahan adalah perbuatan bersetubuh yang dilakukan oleh seorang pria dan seorang wanita yang keduanya atau salah satu dari mereka telah menikah. Sehingga apabila perbuatan bersetubuh itu dilakukan oleh seorang pria dan seorang wanita yang keduanya tidak diikat oleh perkawinan dengan orang lain maka bukan termasuk perzinahan.
Batasan yang diberikan KUHP itu dirasa sangat sempit. Namun hal ini dimaklumi karena KUHP disusun oleh kolonial Belanda yang mempunyai pandangan berbeda dengan pandangan masyarakat dalam memandang perbuatan zina. Menurut pembentuk undang-undang, perzinahan hanya dapat terjadi karena pelanggaran terhadap
Kesetiaan perkawinan seperti yang disebut dalam Van Dale’s Groat Woordenboek der Nederlanche yang menyatakan bahwa perzinahan berarti pelanggaran terhadap kesetiaan perkawinan.
Padahal menurut pandangan masyarakat Indonesia umumnya, perrbuatan zina dapat terjadi apabila ada persetubuhan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan tanpa adanya ikatan perkawinan yang sah. Pengertian seperti ini lebih luas dari pada pengertian overspel dalam KUHP.
Menurut Sahetapy, perbuatan bersetubuh yang tidak sah berarti persetubuhan yang bukan saja dilakukan oleh suami atau isteri di luar lembaga perkawinan, tetapi juga persetubuhan yang dilakukan oleh pria dan wanita di mana keduanya belum menikah, kendatipun sudah bertunangan. Sah di sini harus ditafsirkan sah dalam ruang lingkup lembaga perkawinan. Sehingga zina meliputi pula fornication yaitu persetubuhan yang dilakukan secara suka rela antara seorang yang belum menikah dengan seseorang dari sex yang berlawanan (yang belum menikah juga). Meskipun persetubuhan itu bersifat volunter, atas dasar suka sama suka, namun perbuatan bersetubuh itu tetap tidak sah. Menurut anggota masyarakat, persetubuhan yang sah hanya dilakukan dalam lmbaga perkawinan. Dengan demikian pengertian berzinah mencakup pengertian overspel, fornication dan prostitusi.[11]
Jadi menurut KUHP, seseorang melakukan hubungan kelamin atau persetubuhan di luar perkawinan atas dasar suka sama suka pada prinsipnya tidak dapat dipidana, kecuali terbukti ada perzinahan. Persetubuhan yang dipidana menurut KUHP hanya terjadi apabila persetubuhan itu dilakukan secara paksa (Pasal 285 KUHP), persetubuhan dengan perempuan dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya (Pasal 286 KUHP) dan persetubuhan dengan perempuan yang belum cukup lima belas tahun (Pasal 287 KUHP).
Mengenai makna persetubuhan secara spesifik bertalian dengan perzinahan dalam Pasal 284 itu menurut Soesilo adalah perpaduan antara anggota kemaluan laki-laki dan perempuan yang biasa dilakukan untuk mendapatkan anak, jadi anggota laki-laki harus masuk ke dalam anggota perempuan sehingga mengeluarkan air mani.
Menanggapi pengertian yang dipaparkan oleh Soesilo ini, Sahetapy berpendapat bahwa apabila berpangkal tolak dari pembuktian perzinahan dan bukan berpangkal tolak dari pembuktian kebapakan dari anak ini secara biologik maka penambahan kata-kata “…..sehingga mengeluarkan air mani” adalah sangat berlebihan. Bahkan sangat sulit dibuktikan, karena bukanlah kompetensi hukum pidana untuk menentukan kebapakan dan keturunan, melainkan termasuk wewenang dan ruang lingkup hukum perdata.[12]
Telah disebut di muka bahwa partner yang disetubuhi belum menikah hanya dianggap sebagai peserta pelaku (medepleger). Ini berarti jika parner yang disetubuhi sudah menikah juga, yang bersangkutan dianggap bukan sebagai peserta pelaku. Padahal ketentuan Pasal 284 KUHP mengancam dengan pidana peseta pelaku dalam hal ini partner yang belum menikah. Dengan kata lain, partner yang belum menikah yang terlibat atau melibatkan diri dalam perzinahan tidak diancam dengan pidana kecuali atas pengaduan dari isteri atau suami yang bersangkutan. Ini merupakan konstruksi yuridis yang bukan saja deskriminatif tetapi juga tidak masuk akal bagi pikiran yang sehat.[13]
Di samping itu Pasal 284 KUHP mensyaratkan adanya keberlakuan Pasal 27 BW bagi pria yang menikah yang berbuat zina. Banyak ahli yang tidak setuju dengan disebutkan hanya Pasal 27 BW ini sebagai ukuran. Hal ini disebabkan warga negara Indonesia yang takluk ada Pasal 27 BW adalah orang-orang Eropa dan Cina. Yang tidak takluk adalah orang-orang Indonesia asli, orang-orang Arab, India, Pakistan dan lain-lain orang yang bukan orang Eropa, kecuali Cina.[14]
Permasalahan yang timbul akibat dipakainya ukuran Pasa 27 BW ini misalnya berkaitan dengan Pasal 284 ayat (1) angka 2 huruf b KUHP. Dalam pasal ini undang-undang telah mensyaratkan adanya dua pengetahuan dari seorang wanita yang tidak menikah yang telah berzina dengan seorang pria yang telah menikah yaitu :
- Pria tersebut terikat dengan perkawinan dengan wanita lain;
- Ketentuan Pasal 27 BW berlaku bagi pria tersebut.
Kiranya sudah cukup jelas bahwa karena pengetahuan yang disyaratkan terakhir itu tidak akan pernah dibuktikan baik oleh penuntut umum maupun hakim, maka dengan sendirinya wanita yang telah menikah sebagaimana yang telah disebutkan di atas, tidak akan pernah dapat dinyatakan melanggar larangan Pasal 284 ayat (1) angka 2 huruf b KUHP. Atau dengan kata lain undang-undang pidana yang berlaku saat ini tidak melarang dilakukannya perzinahan oleh wanita yang tidak menikah dengan pria yang menikah jika pria tersebut tidak menundukkan diri pada Pasal 27 BW.[15]
Selain itu, permasalahan-permasalahan dari persetubuhan yang tidak merupakan tindak pidana menurut KUHP, yaitu :
1. dua orang yang belum kawin yang melakukan persetubuhan, walaupun :
a. perbuatan itu dipandang bertentangan dengan atau mengganggu perasaan moral masyarakat;
b. wanita itu mau melakukan persetubuhan karena tipu muslihat atau janji akan menikahi, tetapi diingkari;
c. berakibat hamilnya wanita itu dan lai-laki yang menghamilinya tidak bersedia menikahinya atau ada halangan untuk nikah menurut undang-undang;
2. seorang laki-laki telah bersuami menghamili seorang gadis (berarti telah melakukan perzinahan) tetapi istrinya tidak membuat pengaduan untuk menuntut;
3. seorang melakukan hidup bersama dengan orang lain sebagai suami isteri di luar perkawinan padahal perbuatan itu tercela dan bertentangan atau mengganggu perasaan kesusilaan/moral masyarakat setempat.[16]
- B. Konsep Perzinahan Menurut Hukum Islam
- 1. Pengertian Zina
Dalam al-Mu’jamul Wasith hal 403 disebutkan, “Zina ialah seseorang bercampur dengan seorang wanita tanpa melalui akad yang sesuai dengan syar’i.” Para ulama fiqih memberi batasan bahwa zina yang dimaksud adalah masuknyakemaluan laki-laki ke dalam kemaluan wanita tanpa nikah atau syibhu nikah(mirip/setengah nikah).
Bahkan ulama Al-Hanafiyah memberikan definisi yang jauh lebih rinci lagi yaitu : hubungan seksual yang haram yang dilakukan oleh mukallaf (aqil baligh) pada kemaluan wanita yang hidup dan musytahah dalam kondisi tanpa paksaan dan dilakukan di wilayah hukum Islam (darul Islam) di luar hubungan kepemilikan (budak) atau nikah atau syubhat kepemilikan atau syubhat nikah.
Bila kita breakdown definisi Al-Hanafiyah ini maka kita bisa melihat lebih detail lagi :
1. Hubungan seksual : sedangkan percumbuan yang tidak sampai penetrasi
bukanlah dikatakan sebagai zina.
2. Yang haram : maksudnya pelakuknya adalah seorang mukallaf (aqil baligh). Maka orang gila atau atau anak kecil tidak masuk dalam definisi ini.
3. pada kemaluan : sehingga bila dilakukan pada dubur bukanlah termasuk zinaoleh Al-Imam Abu Hanifah. Sedangkan oleh Al-Malikiyah, Asy-Syafi`iyah dan Al-Hanabilah meski dilakukan pada dubur sudah termasuk zina.
4. seorang wanita : bila dilakukan pada sesama jenis atau pada binatang
bukan termasuk zina.
5. yang hidup : bila dilakukan pada mayat bukan termasuk zina.
6. musytahah : maksudnya adalah bukan wanita anak kecil yang secara umum tidak menarik untuk disetubuhi.
7. dalam kondisi tanpa paksaan : perkosaan yang dialami seorang wanita tidaklah mewajibkan dirinya harus dihukum.
8. dan dilakukan di wilayah hukum Islam (darul Islam)
9. di luar hubungan kepemilikan (budak) atau nikah atau syubhat kepemilikan atau syubhat nikah.
2. Hukum Zina dalam Perspektif Hukum Islam
Zina adalah haram hukumnya, dan ia termasuk dosa besar yang paling besar. Dalam Islam Al Quran merupan sumber hokum yang paling utama kemudian Hadits Nabi Muhammad menjadi sumber hokum setelah Al Quran. Permasalahan Zina bias kita lihat dalam beberapa Nash Al Quran diantaranya :
Allah swt berfirman:
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS al-Israa’: 32)
Dari Abdullah bin Mas’ud r.a, ia berkata:
Saya pernah bertanya kepada Rasulullah saw, “(Ya Rasulullah), dosa apa yang paling besar?” Jawab Beliau, “Yaitu engkau mengangkat tuhan tandingan bagi Allah, padahal Dialah yang telah menciptakanmu.” Lalu saya bertanya (lagi), “Kemudian apa lagi?” Jawab Beliau, “Engkau membunuh anakmu karena khawatir ia makan denganmu.” Kemudian saya bertanya (lagi). “Lalu apa lagi?” Jawab Beliau, “Engkau berzina dengan isteri tetanggamu.” [17]
Allah swt berfirman:
“Dan orang-orang yang tidak menyembah Tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan yang demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa(nya), (yakni) akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina. Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh; Maka itu kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Al-Furqaan: 68-70).
Dalam hadist Sumarah bin Jundab yang panjang tentang mimpi Nabi saw, Beliau saw bersabda:
“Kemudian kami berjalan dan sampai kepada suatu bangunan serupa tungku api dan di situ kedengaran suara hiruk-pikuk. Lalu kami tengok ke dalam, ternyata di situ ada beberapa laki-laki dan perempuan yang telanjang bulat. Dari bawah mereka datang kobaran api dan apabila kena nyala api itu, mereka memekik. Aku bertanya, “Siapakah orang itu” Jawabnya, “Adapun sejumlah laki-laki dan perempuan yang telanjang bulat yang berada di dalam bangunan serupa tungku api itu adalah para pezina laki-laki dan perempuan.”[18]
Dari Ibnu Abbas r.a bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Tidaklah seorang hamba berzina tatkala ia sebagai seorang mu’min; dan tidaklah ia mencuri, manakala tatkala ia mencuri sebagai seorang beriman; dan tidaklah ia meneguk arak ketikaia meneguknya sebagai seorang beriman; dan tidaklah ia membunuh (orang tak berdosa), manakala ia membunuh sebagai seorang beriman.”
Dalam lanjutan riwayat di atas disebutkan:
Ikrimah berkata, “Saya bertanya kepada Ibnu Abbas, ‘Bagaimana cara tercabutnya iman darinya?’ Jawab Ibnu Abbas: ‘Begini –ia mencengkeram tangan kanan pada tangan kirinya dan sebaliknya, kemudian ia melepas lagi–, lalu manakala dia bertaubat, maka iman kembali (lagi) kepadanya begini –ia mencengkeramkan tangan kanan pada tangan kirinya (lagi) dan sebaliknya-.[19]
3. Klasifikasi Orang Berzina
Orang yang berzina adakalanya bikr atau ghairu muhshan (Perawan atau lajang (untuk perempuan) dan perjaka atau bujang (untuk laki-laki)), atau adakalanya muhshan (orang yang sudah beristeri atau bersuami).
Jika yang berzina adalah orang merdeka, muhshan, mukallaf dan tanpa paksaan dari siapa pun, maka hukumannya adalah harus dirajam hingga mati.
Muhshan ialah orang yang pernah melakukan jima’ melalui akad nikah yang shahih. Sedangkan mukallaf ialah orang yang sudah mencapai usia akil baligh. Oleh sebab itu, anak dan orang gila tidak usah dijatuhi hukuman. Berdasarkan hadist “RUFI’AL QALAM ’AN TSALATSATIN .
Dari Jabir bin Abdullah al-Anshari ra bahwa ada seorang laki-laki dari daerah Aslam datang kepada Nabi saw lalu mengatakan kepada Beliau bahwa dirinya benar-benar telah berzina, lantas ia mepersaksikan atas dirinya (dengan mengucapkan) empat kali sumpah. Maka kemudian Rasulullah saw menyuruh (para sahabat agar mempersiapkannya untuk dirajam), lalu setelah siap, dirajam. Dan ia adalah orang yang sudah pernah nikah.[20]
Dari Ibnu Abbas r.a bahwa Umar bin Khattab ra pernah berkhutbah di hadapan rakyatnya, yaitu dia berkata, “Sesungguhnya Allah telah mengutus Muhammad saw dengan cara yang haq dan Dia telah menurunkan kepadanya kitab al-Qur’an. Di antara ayat Qur’an yang diturunkan Allah ialah ayat rajam, kami telah membacanya, merenungkannya dan menghafalkannya. Rasulullah saw pernah merajam dan kami pun sepeninggal Beliau merajam (juga). Saya khawatir jika zaman yang dilalui orang-orang sudah berjalan lama, ada seseorang mengatakan, “Wallahi, kami tidak menjumpai ayat rajam dalam Kitabullah.” Sehingga mereka tersesat disebabkan meninggalkan kewajiban yang diturunkan Allah itu, padahal ayat rajam termaktub dalam Kitabullah yang mesti dikenakan kepada orang yang berzina yang sudah pernah menikah, baik laki-laki maupun perempuan, jika bukti sudah jelas, atau hamil atau ada pengakuan.”[21]
4. Hukuman Budak Yang Berzina
Apabila yang berzina adalah budak laki-laki ataupun perempuan, maka tidak perlu dirajam. Tetapi cukup didera sebanyak lima puluh kali deraan, sebagaimana yang ditegaskan firman Allah swt:
“Dan apabila mereka Telah menjaga diri dengan kawin, Kemudian mereka melakukan perbuatan yang keji (zina), Maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami.” (QS An-Nisaa: 25)
Dari Abdullah bin Ayyasy al-Makhzumi, ia berkata, “Saya pernah diperintah Umar bin Khattab ra (melaksanakan hukum cambuk) pada sejumlah budak perempuan karena berzina, lima puluh kali, lima puluh kali cambukan.”[22]
5. Orang Yang Dipaksa Berzina Tidak Boleh Didera
Dari Abu Abdurahhman as-Silmi ia berkata: “Umar bin Khatab ra pernah dibawakan seorang perempuan yang pernah ditimpa haus dahaga luar biasa, lalu ia melewati seorang penggembala, lantas ia minta air minum kepadanya. Sang penggembala enggan memberikan air minum, kecuali ia menyerahkan kehormatannya kepada seorang penggembala. Kemudian terpaksa ia melaksanakannya. Maka (Umar) pun bermusyawarah dengan para sahabat untuk merajam perempuan itu, kemudian Ali ra menyatakan, ‘Ini dalam kondisi darurat, maka saya berpendapat hendaklah engkau melepaskannya.’ Kemudian Umar melaksanakannya.” [23]
6. Hukuman Bikr (Perawan Atau Perjaka) Yang Berzina
Allah swt berfirman:
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.” (QS An-Nuur: 2).
Dari Ubadah bin Shamit ra bahwa Rasulullah saw bersabda, “Ambillah dariku, ambillah dariku; sungguh Allah telah menjadikan jalan (keluar) untuk mereka; gadis (berzina) dengan jejaka dicambuk seratus kali cambukan dan diasingkan setahun, dan duda berzina dengan janda didera seratus kali didera dan dirajam.”[24]
7. Dengan Apa Hukum Had Sah Dilaksanakan.
Hukum had dianggap sah dilaksanakan dengan dua hal: pertama, pengakuan dan kedua, disaksikan oleh para saksi. (Fiqhus Sunnah III: 352). Adapun pengakuan, didasarkan pada waktu Rasulullah saw yang pernah merajam Ma’iz dan perempuan al-Ghamidiyah yang keduanya mengaku telah berzina:
Dari Ibnu Abbas ra. berkata, “Tatkala Ma’iz bin Malik dibawa kepada Nabi saw, maka Beliau bertanya kepadanya, “Barangkali engkau hanya mencium(nya) atau meraba(nya) dengan tanganmu atau sekedar melihat(nya)?” Jawabnya, “Tidak, ya Rasulullah.” Tanya Beliau (lagi), “Apakah engkau telah melakukan sesuatu yang tidak layak diutarakan dengan terus terang?” Maka ketika itu, Beliau menyuruh merajamnya.”[25]
Dari Sulaiman bin Buraidah dari bapaknya ra bahwa seorang perempuan dari daerah Ghamid dari suku al-Azd datang kepada Nabi saw lalu mengatakan, “Ya Rasulullah, sucikanlah diriku!” Maka sabda Beliau, “Celaka kamu. Kembalilah, lalu beristighfarlah dan bertaubatlah kepada-Nya!” Kemudian ia berkata (lagi), “Saya melihat engkau hendak menolakku, sebagaimana engkau telah menolak Ma’iz bin Malik.” Beliau bertanya kepadanya, “Apa itu?” Jawabnya, “Sesungguhnya saya telah hamil karena berzina.” Tanya Beliau. “Kamu?” Jawabnya, “Ya.” Maka sabda Beliau kepadanya, “(Pulanglah) hingga engkau melahirkan (bayi) yang di perutmu.” Kemudian ada seseorang sahabat dari kawan Anshar yang mengurusnya hingga ia melahirkan bayinya, lalu ia data kepda Nabi saw dan menginformasikan kepada Beliau bahwa perempuan al-Ghamidiyah itu telah melahirkan. Maka beliau bersabda, “Kalau begitu, kami tidak akan segera merajamnya dan kami tidak akan biarkan anaknya yang masih kecil, tidak ada yang menyusuinya.” Kemudian ada seorang sahabat Anshar bangun lantas berkata, “Ya Nabiyullah, saya akan menanggung penyusuannya.” Kemudian Beliau pun merajamnya.[26] Jika yang bersangkutan ternyata meralat pengakuannya, maka tidak boleh dijatuhi hukuman. Hal ini merujuk pada hadist Nu’aim bin Huzzal:
Adalah Ma’iz bin Balik seorang anak yatim yang dulu berada di bawah asuhan ayahku (yaitu Huzzal), kemudian ia pernah berzina dengan seorang budak perempuan dari suatu kampung … sampai pada perkataannya “Kemudian Nabi Saw menyuruh agar Ma’iz dirajam. Lalu dikeluarkanlah Ma’iz ke Padang Pasir. Tatkala dirajam, ia merasakan sakitnya lemparan batu yang menimpa dirinya, kemudian bersedih hati, lalu ia melarikan diri dengan cepat, lantas bertemu dengan Abdullah bin Unais. Para sahabatnya tidak mampu (menahannya). Kemudian Abdullah bin Unais mencabut tulang betis unta, lalu dilemparkan kepadanya hingga ia meninggal dunia. Kemudian Abdullah bin Unais datang menemui Nabi saw lalu melaporkan kasus tersebut kepadanya, maka Rasulullah berkata kepadanya, “Mengapa kamu tidak biarkan ia, barangkali ia bertaubat lalu Allah menerima taubatnya.”[27]
8. Hukum Orang Yang Mengaku Pernah Berzina Dengan Si Fulanah
Apabila seseorang mengaku bahwa dirinya telah berzina dengan fulanah, maka laki-laki yang mengaku tersebut harus dijatuhi hukuman. Kemudian jika si perempuan, rekan kencannya, mengaku juga, maka ia harus dijatuhi hukuman juga. Jika ternyata si perempuan tidak mau mengakui, maka ia (si perempuan) tidak boleh dijatuhi hukuman.
Dari Abu Hurairah dan Zaid bin Khalid ra bahwa ada dua orang laki-laki yang saling bermusuhan datang kepada nabi saw lalu seorang di antara keduanya menyatakan, “Ya Rasulullah, putuskanlah di antara kami dengan Kitabullah!” Yang satunya lagi –yang paling mengerti di antara mereka berdua– berkata, “Betul, ya Rasulullah, putuskanlah di antara kami dengan Kitabullah, dan izinkanlah saya untuk mengutarakan sesuatu kepadamu.” Jawab Beliau, “Silakan utarakan!” Ia melanjutkan pengutaraannya, “Sesungguhnya anakku ini adalah seorang pekerja yang diberi upah oleh orang ini, lalu ia pun berzina dengan isterinya. Lalu orang-orang menjelaskan kepadaku bahwa anaku harus dirajam. Oleh sebab itu, saya telah menebusnya dengan memberikan seratus ekor kambing dan seorang budak wanitaku. Kemudian saya pernah bertanya kepada orang-orang alim, lalu mereka menjelaskan kepadaku bahwa anakku harus didera seratus kali dan diasingkan selama setahun lamanya. Sedangkan rajam hanya ditimpahkan kepada isteri ini.” Maka Rasulullah saw bersabda, “Demi Dzat yang jiwaku berada dalam genggamannya, saya akan benar-benar memutuskan di antara kalian berdua dengan Kitabullah; adapun kambing dan budak perempuanmu itu maka dikembalikan (lagi) kepadamu.” Beliau pun mendera anaknya seratus kali dan mengasingkannya selama setahun. Dan Beliau juga menyuruh Unais al-Aslam agar menemui isteri orang pertama itu; jika ia mengaku telah berzina dengananak itu, maka harus dirajam. Ternyata ia mengaku, lalu dirajam oleh Beliau.[28]
9. Hukum Had Harus Dilaksanakan Bila Saksinya Kuat
Allah swt berfirman:
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik.” (QS An-Nuur: 4)
Apabila ada empat laki-laki muslim yang merdeka lagi adil menyaksikan dzakar (penis) si fulan masuk ke dalam farji (vagina) si fulanah seperti pengoles celak mata masuk ke dalam botol tempat celak, dan seperti timba masuk ke dalam sumur, maka kedua-duanya harus dijatuhi hukuman.
Manakalah tiga saja yang mengaku menyaksikan, sedang yang keempat justru mengundurkan diri dari kesaksian mereka, maka yang tiga orang itu harus didera dengan dera tuduhan sebagimana yang telah dipaparkan ayat empat An-Nuur itu, dan berdasarkan riwayat berikut:
Dari Qasamah bin Zuhair, ia bercerita: Tatkala antara Abu Bakrah dengan al-Mughirah ada permasalahan tuduhan zina yang dilaporkan kepada Umar ra maka kemudian Umar minta didatangkan saksi-saksinya, lalu Abu Bakrah, Syibl bin Ma’bad, dan Abu Abdillah Nafi’ memberikan kesaksiannya. Maka Umar ra pada waktu mereka bertiga usai memberikan kesaksiannya, berkata, “Permasalah Abu Bakrah ini membuat Umar berada dalam posisi yang sulit.” Tatkala Ziyad datang, dia berkata, “(Hai Ziyad), jika engkau berani memberikan kesaksian, maka insya Allah tuduhan zina itu benar.” Maka kata Ziyad, “Adapun perbuatan zina, maka aku tidak menyaksikan dia berzina. Namun aku melihat sesuatu yang buruk.” Makakata Umar, “Allahu Akbar, hukumlah mereka.” Kemudian sejumlah sahabat mendera mereka bertiga. Kemudian Abu Bakrah seusai dicambuk oleh Umar menyatakan, “(Hai Umar), saya bersaksi bahwa sesungguhnya dia (al-Mughirah) berzina.” Kemudian, segera Umar ra hendak menderanya lagi, namun dicegah oleh Ali ra seraya berkata kepada Umar, “Jika engkau menderanya lagi, maka rajamlah rekanmu itu.” Maka Umar pun membatalkan niatnya dan tidak menderanya lagi.”[29]
10. Hukum Orang Berzina Dengan Mahramnya
Barangsiapa yang berzina dengan mahramnya, maka hukumnya adalah dibunuh, baik ia sudah pernah nikah ataupun belum. Dan apabila ia telah mengawini mahramnya, maka hukumannya ia harus dibunuh dan hartanya harus diserahkan kepada pemerintah.
Dari al-Bara’ ra, ia bertutur, “Saya pernah berjumpa dengan pamanku yang sedang membawa pedang, lalu saya tanya, ‘(Wahai Pamanda), Paman hendak kemana?’ jawabnya, ‘Saya diutus oleh Rasulullah saw menemui seorang laki-laki yang telah mengawini isteri bapaknya sesudah ia meninggal dunia, agar saya menebas batang lehernya dan menyita harta bendanya.”[30]
11. Hukum Orang Yang Menyetubuhi Binatang
Dari Ibnu Abbas ra bahwa Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa yang menyetubui binatang ternak, maka hendaklah kamu bunuh dia dan bunuh (pula) binantang itu.”[31]
12. Hukuman Orang Yang Melakukan Liwath, Homoseksual
Apabila seorang laki-laki memasukkan penisnya ke dalam dubur laki-laki yang lain, maka hukumannya adalah dibunuh, baik keduanya sudah pernah menikah taupun belum.
Dari Ibnu Abbas ra bahwa Rasulullah saw bersabda: “Siapa saja yang kalian jumpai melakukan perbuatan kaum (Nabi) Luth, maka bunuhlah fa’il (pelakunya) dan maf’ulbih (korbannya).”[32]
BAB III
PENUTUP
- A. Kesimpulan
Konsepsi perzinahan (overspel) dalam KUHP adalah perbuatan yang dilakukan oleh subjek hokum yang berada dalam ikatan pernikahan baik laki-lakinya ataupun perempuannya, delik ini termasuk kedalam delik aduan atau klach delict, maksudnya adalah pelaku baru bisa dikenai hokum pidana apabila di adukan oleh fihak yang dirugikan dari masing-masing pelaku baik oleh suami atau oleh istri. Subjek dari tindak pidana ini tidak ada pembedaan secara sosiologis, yang menjadi acuan hanyalah status pernikahannya saja.
Sementara Konsepsi delik perzinahan menurut Hukum Islam adalah perbuatan hubungan suami istri yang dilakukan oleh dua orang yang belum memiliki hak secara sah menurut hokum Islam dalam pernikahan, konsepsi ini jelas berbeda dengan konsep perzinahan dalam KUHP, kemudian subjek dari pelaku tindak pidana ini di klasifikasikan dalam beberapa katagori sesuai dengan kedudukan orang tersebut dalam masyarakat.
- B. Saran
- Secara Teoritis
Dari hasil telaahan mengenai perbandingan Hukum diatas, konsepsi perzinahan yang saat ini masih terkandung dan berlaku alam KUHP layaknya di rubah. Hal ini penting dilakukan karena secara filosofis konsepsi perzinahan dalam KUHP yang berlaku tidak sesuai dengan konsepsi Hukum Islam, dimana sebagian besar masyarakat Indonesia beragama Islam dan begitupun nilai hokum adat tentan perzinahan yang berlaku Di Indonesia tidak sesuai dengan KUHP yang sekarang berlaku, sehingga dari aspek sosiologis konsepsi perzinahan yang sekarang di anut dalam KUHP Indonesia dapat menimbulkan konflik social. Dalam ranah Yuridis, hokum yang baik adalah hokum yang sesuai dengan jiwa bangsa. Konsepsi perzinahan yang ada dalam KUHP Indonesia sudah jelas bukan merupakan jiwa bangsa Indonesia sehingga perlu adanya penyesuaian demi terciptanya kepastian hokum dan keadilan di Indonesia.
- Secara Praktis
Hendaknya pembuat Undang-undang mencermati dan menjadikan konsepsi yang ada dalam masyarakat sebagai masukan dalam pembangunan hokum kedepan, adalah RUU KUHP 2008 yang baru saja di sahkan sebagai Rancanga Undang-undang diharapkan mampu menjaab kebutuhan praktis di masyarakat mengenai perbedaan konsepsi perzinahan dalam KUHP yang lama dengan Hukum Islam yang di akomodir oleh RUU KUHP 2008 yang sedang di bahas di lembaga legislatif.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU-BUKU
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta, Renika Cipta, 1991.
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996.
Hasan Shahih: Shahih Tirmidzi no: 1176, Tirmidzi III: 1479, ‘Aunul Ma’bud XII: 157 no: 4440, Ibnu Majah II: 856 no: 2564.
Hasan: Irwa-ul Ghalil no: 2345, Muwaththa‘ Malik hal 594 no: 1058 dan Baihaqi VIII: 242.
Lamintang, Delik-delik Khusus: Tindak Pidana-tindak pidana yang Melanggar Norma-norma Kesusilaan dan Norma Kepatutan, Mandar Maju, Bandung, 1990.
Moch. Anwar, Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Bagian II), Alumni, Bandung, 1982.
Munir Fuadi, Sosiologi Hukum Kontemporer, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 2007.
Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari XII: 114 No. 6811, Muslim I: 90 No. 86, ‘Aunul Ma’bud VI: 422 No. 2293 No. Tirmidzi V: 17 No. 3232.
Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari XII: 136 no: 6827-6828, Muslim III: 1324 no: 1697-1698, ‘Aunul Ma’bud XII: 128 no: 4421, Tirmidzi II: 443 no: 145, Ibnu Majah II: 852 no: 2549 dan Nasa’i VIII: 240.
Sahetapy dan B. Mardjono Reksodiputro, Paradoks dalam Kriminologi, Rajawali, Jakarta 1989.
Sudarto, Hukum Pidana I, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 1990.
Sanadnya Shahih: Irwa-ul Ghalil VIII: 29 dan Baihaqi VIII: 334.
Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 3462 dan Fathul Bari XII: 438 no: 7047.
______________________________no: 7708, Fathul Bari XII: 114 no: 6809 dan Nasa’i VIII: 63.
Shahih: Mukthashar Muslim no: 1036, Muslim III: 1316 no: 1690, ’Aunul Ma’bud XII: 93 no: 4392, Tirmidzi II: 445 no: 1461 dan Ibnu Majah II: 852 no: 2550.
_______________________ no: 1039, Muslim III: 1321 no: 1695.
Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 2313 dan Baihaqi VIII: 236).
_________________ no: 2351, Shahih Ibnu Majah no: 2111, ‘Aunul Ma’bud XII: 147 no: 4433, Nasa’i VI: 110, namun dalam Sunan Tirmidzi dan Sunan Ibnu Majah tanpa lafazh “menyita harta bendanya.” Tirmidzi II: 407 no: 1373 dan Ibnu Majah II: 869 no: 2607.
Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 2075, Tirmidzi III: 8 no: 1481, ‘Aunul Ma’bud XII: 153 no: 4438, Ibnu Majah II: 856 no: 2561.
Shahih: Shahih Abu Daud no. 3716, ‘Aunul Ma’bud XII: 99 no: 4396.
_____________________ no: 3724, Fathul Bari XII: 135 no: 6824 dan ‘Aunul Ma’bud XII: 109 no: 4404.
_____________________ no: 3725, Tirmidzi II: 441 no: 1454 dan A’unul Ma’bud XII: 112 no: 4407.
Wiryono Prodjodikoro, Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Eresco, Bandung, 1986.
JURNAL
Rene David dalam Ahmad Bahiej, Tinjaun Yuridis atas Delik Perzinahan (Overspel) dalam Hukum Pidana Indonesia, Jurnal online andukot.files.wordpress.com/…/tinjaun-yuridis-atas-delik-perzinahan… di unduh pada tanggal 22 November 2011 Pukul 19.15.
[1] Munir Fuady, Sosiologi Hukum Kontemporer, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 2007, hlm. 25.
[2] Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1991, hlm. 6.
[3] Rene David dalam Ahmad Bahiej, Tinjaun Yuridis atas Delik Perzinahan (Overspel)
dalam Hukum Pidana Indonesia, Jurnal online andukot.files.wordpress.com/…/tinjaun-yuridis-atas-delik-perzinahan… di unduh pada tanggal 22 November 2011 Pukul 19.15
[4] Ibid.
[5] Lamintang, Delik-delik Khusus: Tindak Pidana-tindak pidana yang Melanggar Norma-norma Kesusilaan dan Norma Kepatutan, Mandar Maju, Bandung, 1990, hlm. 1.
[6] Moch. Anwar, Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Bagian II), Alumni, Bandung, 1982, hlm. 210.
[7] Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hlm. 292.
[8] Lamintang, Op.Cit., hlm.89-91.
[9] Ibid., 88
[10] Sudarto, Hukum Pidana I, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 1990, hlm. 102.
[11] Sahetapy dan B. Mardjono Reksodiputro, Paradoks dalam Kriminologi, Rajawali, Jakarta 1989, hlm. 62.
[12] Ibid., hlm. 64.
[13] Ibid., hlm.60.
[14] Wiryono Prodjodikoro, Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Eresco, Bandung, 1986, hlm.118-117.
[15] Lamintang., Op. Cit, hlm. 97.
[16] Barda Nawawi Arief., Op.Cit, hlm. 97.
[17] Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari XII: 114 No. 6811, Muslim I: 90 No. 86, ‘Aunul Ma’bud VI: 422 No. 2293 No. Tirmidzi V: 17 No. 3232.
[18] Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 3462 dan Fathul Bari XII: 438 no: 7047.
[19] Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 7708, Fathul Bari XII: 114 no: 6809 dan Nasa’i VIII: 63.
[20] Shahih: Shahih Abu Daud no: 3725, Tirmidzi II: 441 no: 1454 dan A’unul Ma’bud XII: 112 no: 4407.
[21] Shahih: Shahih Abu Daud no: 3725, Tirmidzi II: 441 no: 1454 dan A’unul Ma’bud XII: 112 no: 4407.
[22] Hasan: Irwa-ul Ghalil no: 2345, Muwaththa‘ Malik hal 594 no: 1058 dan Baihaqi VIII: 242.
[23] Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 2313 dan Baihaqi VIII: 236.
[24] Shahih: Mukthashar Muslim no: 1036, Muslim III: 1316 no: 1690, ’Aunul Ma’bud XII: 93 no: 4392, Tirmidzi II: 445 no: 1461 dan Ibnu Majah II: 852 no: 2550).
[25] Shahih: Shahih Abu Daud no: 3724, Fathul Bari XII: 135 no: 6824 dan ‘Aunul Ma’bud XII: 109 no: 4404)
[26] Shahih: Mukhtashar Muslim no: 1039, Muslim III: 1321 no: 1695.
[27] Shahih: Shahih Abu Daud no. 3716, ‘Aunul Ma’bud XII: 99 no: 4396.
[28] Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari XII: 136 no: 6827-6828, Muslim III: 1324 no: 1697-1698, ‘Aunul Ma’bud XII: 128 no: 4421, Tirmidzi II: 443 no: 145, Ibnu Majah II: 852 no: 2549 dan Nasa’i VIII: 240).
[29] Sanadnya Shahih: Irwa-ul Ghalil VIII: 29 dan Baihaqi VIII: 334.
[30] Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 2351, Shahih Ibnu Majah no: 2111, ‘Aunul Ma’bud XII: 147 no: 4433, Nasa’i VI: 110, namun dalam Sunan Tirmidzi dan Sunan Ibnu Majah tanpa lafazh “menyita harta bendanya.” Tirmidzi II: 407 no: 1373 dan Ibnu Majah II: 869 no: 2607).
[31] Hasan Shahih: Shahih Tirmidzi no: 1176, Tirmidzi III: 1479, ‘Aunul Ma’bud XII: 157 no: 4440, Ibnu Majah II: 856 no: 2564
[32] Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 2075, Tirmidzi III: 8 no: 1481, ‘Aunul Ma’bud XII: 153 no: 4438, Ibnu Majah II: 856 no: 2561.