Perlindungan Konsumen dalam Transaksi E-Commerce

0

BAB I

PENDAHULUAN

  1. A.    Latar Belakang

Kegiatan perdagangan di masyarakat telah berkembang sangat pesat. Hal tersebut  dipengaruhi salah satunya dengan berkembangnya teknologi yang berbasis internet yang dikenal dengan nama e-commerce. Perkembangan e-commerce tidak terlepas dari laju pertumbuhan internet karena e-commerce berjalan melalui jaringan internet. Pertumbuhan pengguna internet yang sedemikian pesatnya merupakan suatu kenyataan yang membuat internet menjadi salah satu media yang efektif bagi perusahaan maupun perseorangan untuk memperkenalkan dan menjual barang atau jasa kepada konsumen dari seluruh dunia. E-commerce merupakan model bisnis modern yang non-fice (tidak menghadirkan pelaku bisnis secara fisik) dan non-sign (tidak memakai tanda tangan asli).

Sebagai suatu perdagangan yang berbasis teknologi canggih, e-commerce telah mereformasi perdagangan konvensional di mana interaksi antara konsumen dan perusahaan yang sebelumnya dilakukan secara langsung menjadi interaksi yang tidak langsung.             e-commerce telah merubah paradigma bisnis klasik dengan menumbuhkan model- model interaksi antara produsen konsumen di dunia virtual. Sistem perdagangan yang dipakai dalam eecommerce dirancang untuk menandatangani secara elektronik. Penandatanganan elektronik ini dirancang mulai dari saat pembelian, pemeriksaan dan pengiriman.[1] Karena itu ketersediaan informasi yang benar dan akurat mengenai konsumen dan perusahaan dalam    e-commerce merupakan suatu persyaratan mutlak. Permasalahan akibat liberalisasi perdagangan melalui internet tampil ke permukaan dalam bentuk pengaduan/komplain dari konsumen atas barang atau jasa yang dikonsumsinya.

e-commerce melibatkan lebih dari satu perusahaan, dan dapat diaplikasikan hampir disetiap jenis hubungan bisnis. e-commerce mengizinkan produsen untuk menjual produk-produk dan jasa secara online. Calon pelanggan atau konsumen dapat menemukan website produsen, membaca dan melihat produk-produk, memesan dan membayar produk-produk secara online.

Alasan di gunakannya jaringan internet oleh konsumen saat ini dalam media transaksi e-commerce[2] antara lain :

  1. Internet merupakan jaringan publik yang sangat besar (huge/widespread network) sehingga memiliki kemudahan untuk diakses, murah dan cepat.
  2. Internet menggunakan elektronik data sebagai media penyimpanan pesan/data sehingga dapat dilakukan pengiriman dan penerimaan informasi secara mudah dan ringkas, baik dalam bentuk data elektronik analog maupun digital.

Perkembangan transaksi e-commerce menunjukkan adanya peningkatan yang sangat signifikan, tidak saja di negara – negara maju tetapi juga di negara-negara berkembang, khususnya Indonesia. Banyak keuntungan yang ditawarkan e-commerce yang sulit atau tidak dapat diperoleh melalui cara-cara transaksi konvensional. Pada dasarnya keuntungan penggunaan e-commere dapat dibagi menjadi dua bagian yakni keuntungan bagi pedagang dan keuntungan bagi pembeli.

Adapun keuntungan bagi pedagang diantaranya :

  1. Dapat digunakan sebagai lahan untuk menciptakan pendapatan (revenue generation) yang sulit atau tidak dapat diperoleh melaluai cara konvensional, seperti memasarkan langsung produk atau jasa;menjual informasi,iklan (baner), membuka cybermall, dan sebagainya;

2. Menurunkan biaya operasional. Berhubungan langsung dengan pelanggan melalui internet dapat menghemat kertas dan biaya telepon, tidak perlu menyiapkan tempat ruang pamer (outlet), staf operasional yang banyak, gudang yang besar dan sebagainya;

3. Memperpendek product cycle dan management supplier. Perusahaan dapat memesan bahan baku atau produk supplier langsung ketika ada pemesanan sehingga  perputaran barang lebih cepat dan tidak perlu gudang besar untuk menyimpan produk – produk tersebut;

4. Melebarkan jangkauan (global reach). Pelanggan dapat menghubungi perusahaan /penjual dari manapun di seluruh dunia;

5.  Waktu operasi tidak terbatas. Bisnis melalui internet dapat dilakukan selama 24 jam per hari, 7 hari per minggu;

6. Pelayanan ke pelanggan lebih baik. Melalui internet pelanggan bisa menyampaikan kebutuhan maupun keluahan secara langsung sehingga perusahaan dapat meningkatkan pelayanannya.

Sedangkan keuntungan bagi pembeli antara lain :

  1. Home Shopping. Pembeli dapat melakukan transaksi dari rumah sehingga dapat menghemat waktu, menghindari kemacetan, dan menjangkau toko-toko yang jauh dari lokasi;

2. Mudah melakukan. Tidak perlu pelatihan khusus untuk bisa belanja atau melakukan transaksi melalui internet;

3.  Pembeli memiliki pilihan yang sangat luas dan dapat membandingkan produk maupun jasa yang ingin dibelinya;

4.  Tidak dibatasi waktu. Pembeli dapat melakukan transaksi kapan saja selama    24 jam per hari, 7 hari per minggu;

5.  Pembeli dapat mencari produk yang tidak tersedia atau sulit diperoleh di   outlet-outlet/pasar tradisional.[3]

Di samping itu, menurut Atip Latifulhayat, beberapa karakteristik khas e-commerce menempatkan konsumen pada posisi yang dirugikan[4] seperti:

1. Perusahaan di internet (the internet merchant) tidak memiliki alamat secara fisik di suatu negara tertentu, sehingga hal ini akan menyulitkan konsumen untuk mengembalikan produk yang tidak sesuai dengan pesanan;

2. Konsumen sulit memperoleh jaminan umtuk mendapatkan “Local follow up service or repair” (service lokal atau perbaikan);

3. Produk yang dibeli konsumen berkemungkinan tidak sesuai dengan persyaratan lokal (local requirement).

Di Indonesia, perlindungan hak-hak konsumen dan pelaku usaha telah diatur di dalam UU No. 8 Tahun 1999 (yang selanjutnya disebut UUPK 1999). Tetapi, UUPK 1999 yang berlaku sejak April 1999 itu hanya mengatur hak dan kewajiban konsumen yang masih terbatas pada perdagangan yang dilakukan secara konvensional. Sedangkan mengenai hak dan kewajiban konsumen dalam transaksi online belum secara tegas diatur dalam undang-undang tersebut.

Pakar internet Indonesia, Budi Raharjo, menilai bahwa Indonesia memilik potensi dan prospek untuk pengembangan e-commerce. Namun kendala yang dihadapi dalam pengembangan ini antara lain keterbatasan infra struktur, belum adanya undang-undang khusus yang mengatur transaksi e-commerce, masih kurangnya jaminan terhadap keamanan transaksi, dan kurangnya sumber daya manusia yang bisa diupayakan secara bersamaan dengan upaya pengembangan pranata e-commerce.[5]

Berdasarkan uraian di atas, Penulis akan membahas masalah-masalah tersebut yang dituangkan ke dalam tulisan ini dengan berjudul : Perlindungan Konsumen dalam Transaksi E-commerce.

  1. B.    Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka focus permasalahan diidentifikasikan sebagai berikut :

  1. Bagaimana mekanisme transaksi E-commerce yang berlangsung saat ini ?
    1. Sejauh mana Undang-Undang Perlindungan Konsumen Indonesia telah mengakomodasi transaksi E-commerce ?
    2. Bagaimankah penyelesaian sengketa yang diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen di kaitkan dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik ?

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM TRANSAKSI E-COMMERCE

  1. A.    Mekanisme Transaksi E-commerce yang Berlangsung Saat ini

E-commerce dapat di definisikan sebagai segala bentuk transaksi perdagangan atau perniagaan barang atau jasa (trade of goods and services) dengan menggunakan media elektronik. Sistem perdagangan yang digunakan dalam e-commerce ini dirancang untuk menandatangani secara elektronik. Adapun segmentasi atau ruang lingkup e-commerce meliputi tiga sisi yakni segmentasi bisnis ke bisnis, bisnis ke konsumen dan konsumen ke konsumen.[6]

Salah satu isu terbesar dalam implementasi sistem E-Commerce adalah mengenai mekanisme transaksi pembayaran via internet. Dalam bisnis konvensional sehari-hari, seseorang biasa melakukan pembayaran terhadap produk atau jasa yang dibelinya melalui berbagai cara. Cara yang paling umum adalah dengan membayar langsung dengan alat pembayaran yang sah (uang) secara tunai (cash). Cara lain adalah dengan menggunakan kartu kredit (credit card), kartu debit (debet card), cek pribadi (personal check), atau transfer antar rekening. Proses pembayaran biasanya dilakukan di tempat dimana produk atau jasa tersebut diperjualbelikan.

Lokasi tersebut biasa disebut sebagai POS (Point-Of-Sale). Prinsip pembayaran di dalam sistem E-Commerce sebenarnya tidak jauh berbeda dengan dunia nyata, hanya saja internet (dunia maya) berfungsi sebagai POS yang dapat dengan mudah diakses melalui sebuah komputer pesonal (PC).

Langkah pertama yang biasa dilakukan konsumen adalah mencari produk atau jasa yang diinginkan di internet dengan cara melakukan browsing terhadap situs-situs perusahaan yang ada. Melalui online catalog-nya, konsumen kemudian menentukan barang-barang yang ingin dibelinya. Setelah selesai “memasukkan” semua barang (pesanan dalam bentuk informasi) ke dalam digital cart (kereta dorong digital), maka tibalah saatnya untuk melakukan pembayaran (seperti halnya membawa kereta dorong ke kasir di sebuah supermarket).

Langkah selanjutnya adalah konsumen berhadapan dengan sebuah halaman situs yang menanyakan berbagai informasi sehubungan dengan proses pembayaran yang ingin dilakukan. Informasi yang biasa ditanyakan sehubungan dengan aktivitas ini adalah sebagai berikut:

1. Cara pembayaran yang ingin dilakukan, seperti: transfer, kartu kredit, kartu debit,  cek personal, dan lain sebagainya. Jika menggunakan kartu kredit misalnya, informasi lain kerap ditanyakan, seperti nama yang tercantum dalam kartu, nomor kartu, expire date, dan lain sebagainya. Contoh lain adalah jika menggunakan cek personal, biasanya selain nomor cek, ditanyakan pula nama dan alamat bank yang mengeluarkan cek tersebut.

2. Data atau informasi pribadi dari yang melakukan transaksi, seperti: nama, alamat, nomor telepon, alamat penagihan, dan lain sebagainya. Jika konsumen ingin melakukan pembayaran dengan metoda lain, seperti digital cash atau electronic check misalnya, konsumen diminta untuk mengisi user name dan password terkait sebagai bukti otentik transaksi melalui internet.

3. Bagi perusahaan yang memperbolehkan konsumennya untuk melakukan  pembayaran beberapa kali (cicilan), biasanya akan ditanyakan pula termin pembayaran yang dikehendaki.

Setelah konsumen mengisi formulir elektronik tersebut, maka perusahaan yang memiliki situs akan melakukan pengecekan berdasarkan informasi pembayaran yang telah dimasukkan ke dalam sistem. Melalui sebuah sistem gateway (fasilitas yang menghubungkan dua atau lebih sistem jaringan komputer yang berbeda), perusahaan akan melakukan pengecekan (otorisasi) terhadap bank atau lembaga keuangan yang berasosiasi terhadap medium pembayaran yang dipilih oleh konsumen (misalnya menghubungi Visa atau Mastercard untuk jenis pembayaran kartu kredit). Lembaga keuangan yang terkait kemudian akan melakukan proses otorisasi dan verifikasi terhadap berbagai hal, seperti: ketersediaan dana, validitas medium pembayaran, kebenaran informasi, dan lain sebagainya. Jika metode pembayaran yang dipilih melibatkan lebih dari satu bank atau lembaga keuangan, proses otorisasi dan verifikasi akan dilakukan secara elektronik melalui jaringan komputer antar bank atau lembaga keuangan yang ada.

Hasil dari proses otorisasi dan verifikasi di atas secara otomatis akan “diinformasikan” kepada pelanggan melalui situs perusahaan. Jika otorisasi dan verifikasi berhasil, maka konsumen dapat melakukan proses berikutnya (menunggu barang dikirimkan secara fisik ke lokasi konsumen atau konsumen dapat melakukan download terhadap produk-produk digital). Jika otorisasi dan verifikasi gagal, maka pesan kegagalan tersebut akan diberitahukan melalui situs yang sama. Berbagai cara biasa dilakukan oleh perusahaan maupun bank untuk membuktikan kepada konsumen bahwa proses pembayaran telah dilakukan dengan baik, seperti:

1. Pemberitahuan melalui email mengenai status transaksi jual beli produk atau jasa yang telah dilakukan;

2. Pengiriman dokumen elektronik melalui email atau situs terkait yang berisi “berita acara” jual-beli dan kwitansi pembelian yang merinci jenis produk atau jasa yang dibeli berikut detail mengenai metode pembayaran yang telah dilakukan;

3. Pengiriman kwitansi pembayaran melalui kurir ke alamat atau lokasi konsumen;

4. Pencatatan transaksi pembayaran oleh bank atau lembaga keuangan yang       laporannya akan diberikan secara periodik pada akhir bulan; dan lain sebagainya.

Menyangkut transaksi pembayaran melalui internet, terdapat prinsip-prinsip yang harus diperhatikan dengan sungguh-sungguh oleh mereka yang mengembangkan sistem E-Commerce, yaitu:

1. Security – data atau informasi yang berhubungan dengan hal-hal sensitif semacam  nomor kartu kredit dan password tidak boleh sampai “dicuri” oleh yang tidak berhak, karena dapat disalahgunakan di kemudian hari;

2. Confidentiality – perusahaan harus dapat menjamin bahwa tidak ada pihak lain yang mengetahui terjadinya transaksi jual beli dan pembayaran, kecuali pihak-pihak yang memang secara hukum harus mengetahuinya (misalnya bank);

3. Integrity – sistem harus dapat menjamin adanya keabsahan dalam proses jual beli, yaitu harga yang tercantum dan dibayarkan hanya berlaku untuk jenis produk atau jasa yang telah dibeli dan disetujuai bersama;

4. Authentication – proses pengecekan kebenaran dimana pembeli maupun penjual merupakan mereka yang benar-benar berhak melakukan transaksi seperti yang dinyatakan oleh masing-masing pihak;

5. Authorization – mekanisme untuk melakukan pengecekan terhadap keabsahan dan kemampuan seorang konsumen untuk melakukan pembelian (adanya dana yang diperlukan untuk melakukan transaksi jual beli);

6. Assurance – kondisi dimana konsumen yakin bahwa perusahaan E-Commerce yang ada benar-benar berkompeten untuk melakukan transaksi jual beli melalui internet (tidak melanggar hukum, memiliki sistem yang aman, dsb.).

Dalam perkembangannya, sistem pembayaran melalui internet dapat dilakukan dengan berbagai cara. Mengingat bahwa seluruh mekanisme tersebut dilakukan di sebuah dunia maya yang penuh dengan potensi kejahatan, maka adalah merupakan suatu keharusan bagi perusahaan-perusahaan besar untuk melakukan audit terhadap kinerja sistem pembayaran perusahaan E-Commerce-nya agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan bersama. Di pihak konsumen, adalah baik untuk tidak langsung percaya begitu saja terhadap perusahaan maupun “dunia maya” yang ada.

  1. B.    Undang-Undang Perlindungan Konsumen dalam Mengakomodasi Transaksi         E-commerce

UUPK belum dapat melindungai konsumen dalam transaksi e- commerce karena ketentuan – ketentuan yang tercantum dalam UUPK belum mengakomodir hak – hak konsumen dalam transaksi e-commerce. Hal tersebut dikarenakan ecommerce mempunyai karakteristik tersendiri dibandingan dengan transaksi konvensional. Karakteristik tersebut adalah : tidak bertemunya penjual dan pembeli, media yang digunakan adalah internet, transaksi dapat terjadi melintasi batas – batas yuridis suatu negara, barang yang diperjualbelikan dapat berupa barang/jasa atau produk digital seperti software. Dalam hukum positif Indonesia, hak – hak konsumen diakomodir dalam Pasal 4 UUPK, yaitu :

1) Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa.

2) Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.

3) Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.

4) Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan.

5) Hak untuk mendapatkan advokasi perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.

6)  Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen.

7) Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.

8) Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.

9) Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Berdasarkan hasil penelitian, pada transaksi e-commerce hak – hak konsumen sangat riskan sekali untuk dilanggar, dalam hal ini konsumen tidak mendapatkan hak – haknya secara penuh dalam transaksi e-commerce. Hak – hak tersebut antara lain :

1)     Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;

2)     Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi suatu barang;

3)     Hak untuk di dengar pendapat dan keluhannya dalam penggunaan barang dan jasa;

4)     Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.

Apabila diperhatikan, hak – hak konsumen yang secara normatif diatur oleh UUPK terkesan hanya terbatas pada aktivitas perdagangan yang bersifatnya konvensional. Di samping itu perlindungan difokuskan hanya pada sisi konsumen serta sisi produk yang diperdagangkan sedangkan perlindungan dari sisi pelaku usaha seperti informasi tentang identitas perusahaan pelaku usaha serta jaminan kerahasiaan data-data milik konsumen belum diakomodir oleh UUPK, padahal hak – hak tersebut sangat penting untuk diatur untuk keaman konsumen dalam bertransaksi.

Keterbatasan UUPK untuk melindungi konsumen dalam bertransaksi ecommerce juga tampak pada terbatasnya ruang lingkup pengertian pelaku usaha. Pasal 1 ayat (3) undang -undang ini menyebutkan, yang dimaksud pelaku usaha adalah “Setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama – sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi”.

Sedangkan menurut penjelasan pasal 1 ayat (3) UUPK, yang termasuk dalam pelaku usaha adalah “pelaku usaha yang termasuk dalam pengertian ini adalah perusahaan, korporasi, BUMN, koperasi, importir, pedagang, distributor, dan lain – lain.

Melihat pengertian di atas sangatlah sempit sekali ruang lingkup pengertian pelaku usaha yang diatur oleh UUPK, dimana pelaku usaha yang diatur dalam undang – undang ini adalah pelaku usaha yang wilayah kerjanya di wilayah negara Republik Indonesia. Padahal jika kita lihat dari karakteristik dari ecommerce, salah satunya adalah perdagangan yang melintasi batas – batas negara maka pengertian pelaku usaha dalam UUPK ini tidak dapat menjangkau jika pelaku usaha tersebut tidak berada di wilayah negara Republik Indonesia. Akan tetapi UUPK tetap masih menjangkau pelaku usaha toko online yang melakukan usahanya di wilayah negara Republik Indonesia.

 

 

  1. C.    Penyelesaian Sengketa dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen dikaitkan dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik

Transaksi e-commerce seperti layaknya suatu transaksi konvensional dimana menimbulkan hak dan kewajiban antara pelaku usaha dan konsumen. Di dalam pemenuhan hak dan kewajiban ini tidak selamanya mulus. Sehingga dimungkinkan terjadinya sengketa antara pelaku usaha dan konsumen. Jika pelaku usaha dan konsumen sama-sama berada di wilayah negara Republik Indonesia maka penyelesaian sengketa dapat di lakukan menurut cara penyelesaian sengketa yang ada di UUPK. Akan tetapi yang menjadi permasalahan

adalah bagaimana jika pelaku usaha tersebut tidak berada di wilayah Republik Indonesia sedangkan konsumennya warga negara Indonesia. Haruslah dipilih cara penyelesaian sengekta yang efektif dan efisien. Maka cara untuk mengatasi masalah ini adalah mengunakan alternative penyelesaian sengketa. Dimana alternatif penyelesaian sengketa ini

lebih efisien dibandingkan dengan melalui jalur pengadilan.

Memperhatikan semakin banyaknya masalah – masalah yang timbul sebagai akibat dari e-commerce dalam aktivitas perdagangan serta adanya kebutuhan untuk memperoleh penyelesaian sengketa yang efektif, efisien dan tidak memihak. Maka penerapan mekanisme

penyelesaian sengketa alternatif (ADR) dalam perdagangan secara elektronik merupakan solusi alternatif dalam mengatasi sengketa sekaligus sebagai salah satu bentuk perlindungan hukum.

            Terkait dengan aspek hokum yang berlaku dalam transaksi e-commerce terutama dalam upaya untuk melindungi konsumen, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang dan ketentuan-ketentuan yang mengakomodasi tentang perdagangan elektronik yang merupakan salah satu ornament utama dalam bisnis.

     

 

BAB III

PENUTUP

  1. A.    Kesimpulan
    1. Perkembangan teknologi informasi sehubungan dengan transformasi global yang melanda dunia membawa akibat pada berkembangnya aktivitas perdagangan, salah satunya adalah perdagangan atau transaksi melalui media elektronik (transaksi e-commerce).  Secara umum berbagai masalah hukum yang berhubungan dengan substansi hukum maupun prosedur hukum dalam transaksi e-commerce memang sudah dapat terakomodasi dengan pengaturan-pengaturan hukum yang ada, terutama dengan aturan-aturan dalam KUH Perdata. Namun karena karakteristiknya yang berbeda dengan transaksi konvensional, apakah analogi dari peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai transaksi bisnis pada umumnya dapat diterima dalam transaksi e-commerce?  Demikian pula dengan validitas tanda tangan digital (digital signatures).  Bila hal demikian tidak dapat diterima, tentunya dibutuhkan aturan main baru untuk mengakomodasi berbagai kepentingan dalam rangka melindungi para pihak dalam transaksi e-commerce.
    2. Secara khusus pranata atau pengaturan hukum yang dapat memberikan perlindungan terhadap konsumen sudah terakomodasi di Indonesia dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen. Namun untuk perlindungan konsumen dalam transaksi e-commerce belum terakomodasi dalam UU Perlindungan Konsumen tersebut. Hal ini terutama disebabkan karena karakteristik dari transaksi e-commerce yang khusus, terutama transaski yang bersifat transnasional yang melewati batas-batas hukum yang berlaku secara nasional. Serta UUPK belum dapat melindungi konsumen dalam transaksi e-commerce karena UUPK ini mempunyai keterbatasan pengertian tentang pelaku usaha dimana disebutkan bahwa pelaku usaha yang disebutkan dalam UUPK ini hanya menjangkau pelaku usaha yang wilayah uahanya berada di wilayah negara Republik Indonesia. Padahal e-commerce merupakan model perdagangan yang dapat melintasi wilayah hukum suatu negara. Sehingga jika terjadi suatu sengketa sehingga merugikan konsumen yang berada di Indonesia maka UUPK ini tidak dapat menjangkaunya. Selainitu hak – hak konsumen yang diatur dalam UUPK terbatas hanya untuk transaksi yang bersifat konvensional saja.Walaupun UUPK memiliki keterbatasan – keterbatasan dalam melindungi konsumen, UUPK tersebutmasih dapat menjangkau pelaku usaha toko online yang wilayah kerjanya berada di negara Republik Indonesia.
    3. Dengan adanya regulasi khusus yang mengatur perjanjian virtual ini, maka secara otomatis perjanjian-perjanjian di internet tersebut tunduk pada Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik dan hokum perjanjian yang berlaku.

 

  1. B.    Saran
    1. Sebaiknya dalam mengadakan transaksi perdagangan dalam e-commerce baik pelaku usaha maupun konsumen lebih teliti dalam melakukan transaksi pembayaran.
    2. Sebaiknya Undang-Undang Perlindungan Konsumen harus dapat mengakomodasi transaksi e-commerce karena saat ini transaksi dalam dunia maya bukan hal yang asing lagi.
    3. Pemerintah hendaknya segera membuat undang – undang tentang perlindungan konsumen yang mengatur perlindungan hukum terhadap konsumen dalam transaksi e-commerce karena nantinya e-commerce akan menjadi suatu keniscayaan, sehingga pemerintah jangan sampai tertinggal perangkat hukumnya. Meskipun saat ini telah ada UU ITE yang mengakomodir transaksi e-commerce.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Hakim Barkatullah dan Teguh Prasetyo, Bisnis E-commerce, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005.

_______, Bisnis E-Commerce Studi Sistem Keamanan dan Hukum di Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005.

Atip latifulhayat, Cyberlaw dan Urgensinya bagi Indonesia, PT. Refika Aditama, Bandung, 2000.

Dikdik M. Arief Mansyur dan Erlisatris Gultom, Cyber Law (Aspek Hukum Teknologi Informasi), Refika Aditama, Bandung, 2005.

Riyeke Ustadianto, Frameworks E-commerce, Penerbit Andi, Yogyakarta, 2001.      

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


[1]  Abdul Hakim Barkatullah dan Teguh Prasetyo, Bisnis E-commerce, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005, hlm. 7.

[2] Abdul Halim Barkatullah dan Teguh Prasetyo, Bisnis E-Commerce Studi Sistem Keamanan dan Hukum di Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005, hlm. 158.

 

[3] Dikdik M. Arief Mansyur dan Erlisatris Gultom, Cyber Law (Aspek Hukum Teknologi Informasi), Refika Aditama, Bandung, 2005, hlm. 150.

[4] Atip latifulhayat, Cyberlaw dan Urgensinya bagi Indonesia, PT. Refika Aditama, Bandung, 2000, hlm. 10.

 

[5] http://www.solusihukum.com/news.php?p=artikel&id=31.htm., akses 30 Desember 2011, jam 18:15.

[6] Riyeke Ustadianto, Frameworks E-commerce, Penerbit Andi, Yogyakarta, 2001, hlm. 139-143.