KEPAILITAN DAN PENUNDAAN PEMBAYARAN

3

BAB I

PENDAHULUAN

  1. A. LATAR BELAKANG

Perkembangan perekonomian global membawa pengaruh terhadap perkembangan hukum terutama hukum ekonomi. Erman Radjagukguk menyebutkan bahwa globalisasi hukum akan menyebabkan peraturan-peraturan Negara-negara berkembang mengenai investasi,perdagangan, jasa-jasa dan bidang perekonomian lainnya mendekati Negara-negara maju. (Convergency).[1]

Dalam rangka menyesuaikan dengan perekonomian global, Indonesia melakukan revisi terhadap seluruh hukum ekonominya.Namun demikian tidak dapat disangkal bahwa perubahan terhadap hukum ekonomi Indonesia dilakukan juga  karena tekanan dari badan-badan dunia seperti WTO, IMF dan Worl Bank. Bidang hukum yang mengalami revisi antara lain adalah hukum kepailitan. Hukum kepailitan sendiri merupakan warisan dari pemerintahan Kolonial Belanda yang notabenenya bercorak sistem hukum Eropa Kontinental. Di Indonesia saat ini dalam hukum ekonomi mendapat pengaruh yang cukup kuat dari sistem hukum Anglo Saxon.

Kepailitan dapat terjadi karena makin pesatnya perkembangan perekonomian dan perdagangan dimana muncul berbagai macam permasalahan utang piutang yang timbul dalam masyarakat. Begitu juga dengan krisis moneter yang terjadi di Indonesia telah memberikan dampak yang tidak  menguntungkan terhadap perekonomian nasional sehingga menimbulkan kesulitas besar terhadap dunia usaha dalam menyelesaikan utang piutang untuk meneruskan kegiatan usahanya.

Mempelajari perkembangan hukum kepailitan yang berlaku di Indonesia tidak terlepas dari kondisi perekonomian nasional khususnya yang terjadi pada pertengahan tahun 1997. Dari sisi ekonomi patut disimak data yang dikemukakan oleh Lembaga Konsultan (think tank) Econit Advisory Group, yang menyatakan bahwa tahun 1997 merupakan ‘Tahun Ketidak pastian” (A Year of Uncertainty). Sementara itu, Tahun 1998 merupakan “Tahun Koreksi” (A Year of Correction). Pada pertengahan tahun 1997 terjadi depresiasi secara drastis nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, khususnya US $ dari sekitar Rp. 2300,00 pada sekitar bulan Maret menjadi sekitar Rp. 5000,00 per US $ pada akhir tahun 1997. Bahkan pada pertengahan tahun 1998 nilai tukar rupiah sempat menyentuh Rp. 16.000,00 per US $. Kondisi perekonomian ini mengakibatkan keterpurukan terhadap pertumbuhan ekonomi yang sebelumnya positif sekitar 6 – 7 % telah terkontraksi menjadi minus 13 – 14 %. Tingkat inflasi meningkat dari di bawah 10 % menjadi sekitar 70 %. Banyak perusahaan yang kesulitan membayar kewajiban utangnya terhadap para kreditor dan lebih jauh lagi banyak perusahaan mengalami kebangkrutan (Pailit).

Bila diteliti lebih jauh tentang hukum kepailitan di Indonesia yang tidak mengatur tentang adanya kemungkinan untuk melakukan reorganisasi perusahaan, sesungguhnya lembaga reorganisasai perusahaan ini mirip dengan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Suspension of Payment, Surseance van Betaling (selanjutnya disingkat PKPU).

PKPU dalam UU NO. 4 Tahun 1998 diatur dalam Bab ke dua mulai Pasal 212 sampai dengan Pasal 279.

PKPU dilakukan bukan berdasarkan pada keadaan dimana debitur tidak mampu membayar utangnya dan juga tidak bertujuan dilakukannya pemberesan terhadap harta kekayaan debitur (likuidasi harta pailit).2

PKPU adalah wahana Juridis Ekonomis yang disediakan bagi debitur untuk menyelesaikan kesulitan finansialnya agar dapat melanjutkan kehidupannya. Sesungguhnya PKPU adalah suatu cara untuk menghindari kepailitan yang lazimnya bermuara pada likuidasi harta kekayaan debitur. Bagi perusahaan, PKPU bertujuan memperbaiki keadaan ekonomis dan kemampuan debitur membuat laba. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa PKPU bertujuan menjaga jangan sampai debitur, yang karena suatu keadaan semisal keadaan tidak likuid dan sulit mendapat kredit dinyatakan pailit, sedangkan kalau debitur tersebut diberi waktu dan kesempatan, besar harapan ia ia akan dapat membayar utangnya. Putusan pailit dalam keadaan tersebut di atas akan berakibat pengurangan nilai perusahaan dan ini akan merugikan para kreditur.

2 Fred B.G. Tumbuan, Pokok-Pokok Penyempurnaan Aturan Tentang Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Makalah disampaikan dalam Lokakarya Undang-undang Kepailitan, Jakarta, 3 –14 Agustus 1998.

  1. B. RUMUSAN MASALAH

Bertolak dari kerangka dasar berfikir sebagaimana diuraikan pada bagian latar belakang, maka permasalahan yang akan diangkat dalam makalah ini adalah sebagai berikut :

  1. Kepailitan dan Penundaan Pembayaran.
  1. C. TUJUAN PENULISAN

Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini adalah :

  1. Untuk memenuhi tugas makalah Hukum Dagang.
  2. Mengetahui mengenai konsep kepailitan perusahaan dan penundaan pembayaran .
  3. Mengetahui mengenai proses dijatuhkannya pailit.
  1. D. METODOLOGI PENULISAN

Dalam penulisan ini penulis menggunakan metode/cara pengumpulan data atau informasi melalui :

  • Penelitian kepustakaan ( Library Research ) yaitu penelitian yang dilakukan melalui studi literature, internet, dan sebagainya yang sesuai atau yang ada relevansinya dengan masalah yang dibahas.
  1. E. SISTEMATIKA PENULISAN

Untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang penulisan ini, maka terlebih dahulu penulis akan menguraikan penulisannya agar lebih mudah dipahami dalam memecahkan masalah yang ada. Di dalam penulisan ini dibagi dalam 3 ( tiga ) bab yang terdiri dari :

BAB I        :

Bab ini merupakan bab pendahuluan yang memuat latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan, metodologi penulisan dan sistematika penulisan.

BAB II       :

Bab ini merupakan bab yang berisi pembahasan yang tercakup dalam rumusan masalah.

BAB III      :

Bab ini berisi analisis kasus Kepailitan.

BAB IV     :

Bab ini merupakan bab penutup yang memuat kesimpulan dan saran-saran.

BAB II

PEMBAHASAN

KEPAILITAN

1.2. Dasar Hukum Kepailitan

Semula lembaga hukum kepailitan diatur undang-undang tentang Kepailitan dalam Faillissements-verordening Staatsblad 1905:217 juncto Staatsblad 1906:348. Karena perkembangan perekonomian dan perdagangan serta pengaruh globalisasi, serta modal yang dimiliki oleh para pengusaha umumnya berupa pinjaman yang berasal dari berbagai sumber, undang-undang tersebut telah menimbulkan banyak kesulitan dalam penyelesaian utang-piutang. Penyelesaian utang-piutang juga bertambah rumit sejak terjadinya berbagai krisis keuangan yang merembet secara global dan memberikan pengaruh tidak menguntungkan terhadap perekonomian nasional. Kondisi tidak menguntungkan ini telah menimbulkan kesulitan besar terhadap dunia usaha dalam menyelesaikan utang piutang untuk meneruskan kegiatannya. Undang-undang tentang Kepailitan (Faillissements verordening, Staatsblad 1905:217 juncto Staatsblad 1906:348), sebab itu, telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang tentang Kepailitan, yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998. Perubahan tersebut juga ternyata belum memenuhi perkembangan dan kebutuhan hukum di masyarakat, sehingga pada tahun 2004 pemerintah memperbaikinya lagi dengan Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Undang-undang Kepailitan dan PKPU). Dan juga adapun BW secara umum khususnya pasal 1131 sampai dengan 1134.

2.2 Pengertian dan Syarat Kepailitan

Dalam pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Undang-undang Kepailitan dan PKPU), “kepailitan” diartikan sebagai sita umum atas semua kekayaan Debitur Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas. Menurut kamus, pailit berarti “bangkrut” atau “jatuh miskin”. Dengan demikian maka kepailitan adalah keadaan atau kondisi dimana seseorang atau badan hukum tidak mampu lagi membayar kewajibannya (Dalam hal ini utangnya) kepada si piutang.

Tampak bahwa inti kepailitan adalah sita umum (beslaang ) atas kekayaan debitor. Maksud dari penyitaan agar semua kreditor mendapat pembayaran yang seimbang dari hasil pengelolaan asset yang disita. Dimana asset yang disita dikelola atau yang disebut pengurusan dan pemberesan dilakukan oleh curator.

Dalam hal terjadi kepailitan, yaitu Debitur tidak dapat membayar utangnya, maka jika Debitur tersebut hanya memiliki satu orang Kreditur dan Debitur tidak mau membayar utangnya secara sukarela, maka Kreditur dapat menggugat Debitur ke Pengadilan Negeri dan seluruh harta Debitur menjadi sumber pelunasan utangnya kepada Kreditur. Namun, dalam hal Debitur memiliki lebih dari satu Kreditur dan harta kekayaan Debitur tidak cukup untuk melunasi semua utang kepada para Kreditur, maka akan timbul persoalan dimana para Kreditur akan berlomba-lomba dengan segala macam cara untuk mendapatkan pelunasan piutangnya terlebih dahulu. Kreditur yang belakangan datang kemungkinan sudah tidak mendapatkan lagi pembayaran karena harta Debitur sudah habis. Kondisi ini tentu sangat tidak adil dan merugikan Kreditur yang tidak menerima pelunasan. Karena alasan itulah, muncul lembaga kepailitan dalam hukum. Lembaga hukum kepailitan muncul untuk mengatur tata cara yang adil mengenai pembayaran tagihan-tagihan para Kreditur dengan berpedoman pada KUHPer, terutama pasal 1131 dan 1132, maupun Undang-undang Kepailitan dan PKPU.

Pasal 1131 KUHPer:

“Segala barang-barang bergerak dan tak bergerak milik debitur, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, menjadi jaminan untuk perikatan perorangan debitur itu.”

Pasal 1132 KUHPer:

“Barang-barang itu menjadi jaminan bersama bagi semua kreditur terhadapnya; hasil penjualan barang-barang itu dibagi menurut perbandingan piutang masing-masing kecuali bila di antara para kreditur itu ada alasan-alasan sah untuk didahulukan.”

Dari dua pasal tersebut, dapat kita simpulkan bahwa pada prinsipnya pada setiap individu memiliki harta kekayaan yang pada sisi positif di sebut kebendaan dan pada sisi negatif disebut perikatan. Kebendaan yang dimiliki individu tersebut akan digunakan untuk memenuhi setiap perikatannya yang merupakan kewajiban dalam lapangan hukum harta kekayaan.

Syarat Kepailitan

Hal ini dijelaskan dalam Pasal 2 ayat ( 1 ) UUK :

“Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak mambayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya.”

Menurut pasal 2 ayat (1) Undang-undang Kepailitan dan PKPU di atas, supaya pasal 1131 dan 1132 KUHP berlaku sebagai jaminan pelunasan utang Kreditur, maka pernyataan pailit tersebut harus dilakukan dengan putusan Pengadilan yang terlebih dahulu dimohonkan kepada Pengadilan Niaga. Menurut Gunawan Widjaja, maksud dari permohonan dan putusan pailit tersebut kepada Pengadilan adalah untuk memenuhi asas publisitas dari keadaan tidak mampu membayar Debitur. Asas tersebut dimaksudkan untuk memberitahukan kepada khalayak umum bahwa Debitur dalam keadaan tidak mampu membayar, dan hal tersebut memberi kesempatan kepada Kreditur lain yang berkepentingan untuk melakukan tindakan. Dengan demikian, dari pasal tersebut dapat kita tarik kesimpulan bahwa dikabulkannya suatu pernyataan pailit jika dapat terpenuhinya persyaratan kepailitan sebagai berikut:

1)      Debitur tersebut mempunyai dua atau lebih Kreditur.

Untuk melaksanakan Pasal 1132 KUHPer yang merupakan jaminan pemenuhan pelunasan utang kepada para Kreditur, maka pasal 1 ayat (1) Undang-undang Kepailitan dan PKPU mensyaratkan adanya dua atau lebih Kreditur. Syarat ini ditujukan agar harta kekayaan Debitur Pailit dapat diajukan sebagai jaminan pelunasan piutang semua Kreditur, sehingga semua Kreditur memperoleh pelunasannya secara adil. Adil berarti harta kekayaan tersebut harus dibagi secara Pari passu dan Prorata. Pari Passu berarti harta kekayaan Debitur dibagikan secara bersama-sama diantara para Kreditur, sedangkan Prorata berarti pembagian tersebut besarnya sesuai dengan imbangan piutang masing-masing Kreditur terhadap utang Debitur secara keseluruhan.

Dengan dinyatakannya pailit seorang Debitur, sesuai pasal 22 jo. Pasal 19 Undang-undang Kepailitan dan PKPU, Debitur pailit demi hukum kehilangan hak untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang dimasukkan ke dalam kepailitan. Terhitung sejak tanggal putusan Pengadilan, Pengadilan melakukan penyitaan umum atas seluruh harta kekayaan Debitur Pailit, yang selanjutnya akan dilakukan pengurusan oleh Kurator yang diawasi Hakim Pengawas. Dan bila dikaitkan dengan pasal 1381 KUHPer tentang hapusnya perikatan, maka hubungan hukum utang-piutang antara Debitur dan Kreditur itu hapus dengan dilakukannya “pembayaran” utang melalui lembaga kepailitan.

(2)      Debitur tersebut tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan

dapat ditagih.

Gugatan pailit dapat diajukan apabila Debitur tidak melunasi utangnya kepada minimal satu orang Kreditur yang telah jatuh tempo, yaitu pada waktu yang telah ditentukan sesuai dalam perikatannya. Dalam perjanjian, umumnya disebutkan perihal kapan suatu kewajiban itu harus dilaksanakan. Namun dalam hal tidak disebutkannya suatu waktu pelaksanaan kewajiban, maka hal tersebut bukan berarti tidak dapat ditentukannya suatu waktu tertentu. Pasal 1238 KUHPer mengatur sebagai berikut:

“Debitur dinyatakan lalai dengan surat perintah, atau dengan akta sejenis itu, atau berdasarkan kekuatan dari perikatan sendiri, yaitu bila perikatan ini mengakibatkan debitur harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.”

Adapun criteria yang harus dipenuhi, yakni debitur mempunyai atau lebih kteditur dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Rumusan utang dijelaskan dalam Pasal 1 butir 6 UUK menyebutkan utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia atau mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari, yang timbul karena perjanjian atau UU dan yang wajib dipenuhi oleh debitur dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada Kreditur untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan Debitur.

Adapun syarat yang lain dalam kepailitan yaitu :

  • Pailit berarti pemogokan pembayar atau kemacetan pembayaran.
  • Debitur dalam keadaan berhenti membayar, dengan putusan hakim dia dinyatakan pailit.
  • Putusan pailit akan diucapkan hakim, bila secara sumir terbukti adanya peristiwa atau keadaan yang menunjukan adanya keadaan berhenti membayar dari debitur.
  • Sumir terbukti berarti untuk pembuktian tidak berlaku peraturan pembuktian yang biasa    ( buku IV KUHPerdata ).

Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia atau mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul dikemudian hari yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitur dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditur untuk mendapat pemenuhan dari harta kekayaan debitur.

3.2 Asas Utama Undang-Undang Kepailitan

1) Cepat

Proses kepailitan lebih sering digunakan oleh pelaku usaha, sehingga memerlukan keputusan yang cepat.

2) Adil

Melindungi kreditur dan debitur yang beritikad baik serta pihak ketiga yang tergantung dengan usaha debitur.

3) Terbuka

Keadaan insolven suatu badan hukum harus diketahui oleh masyarakat sehingga tidak akan menimbulkan efek yang negative dikemudian hari, dan mencegah debitur yang beritikad buruk untuk mendapatkan dana dari masyarakt dengan cara menipu.

4) Efektif

Keputusan pengadilan harus dapat dieksekusi dengan cepat, baik keputusan penolakan permohonan pailit, keputusan pailit, keputusan perdamaian ataupun keputusan PKPU.

4.2 Tujuan hukum kepailitan

  1. Agar debitur tidak membayar utangnya dengan sukarela walaupun telah ada putusan pengadilan yang menghukumnya supaya melunasi utangnya, atau karena tidak mampu untuk membayar seluruh hutangnya, maka seluruh harta bendanya disita untuk dijual dan hasil penjualan itu dibagi-bagikan kepada semua krediturnya menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan;
  2. untuk menghindarkan kreditur pada waktu bersamaan meminta pembayaran kembali        piutangnya dari si debitur;
  3. Menghindari adanya kreditur yang ingin mendapatkan hak istimewa yang menuntut hak-haknya dengan cara menjual sendiri barang milik debitur, tanpa memperhatikan kepentingan kreditur lainnya;
  4. Menghindarkan kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh si debitur sendiri, misalnya debitur melarikan atau menghilangkan semua harta kekayaannya dengan maksud melepaskan tanggung jawabnya terhadap para kreditur, debitur menyembunyikan harta kekayaannya, sehingga para kreditur tidak akan mendapatkan apa-apa.
  5. Menghukum pengurus yang karena kesalahannya telah mengakibatkan perusahaannya mengalami keadaan keuangan yang buruk sehingga perusahaan mengalami keadaan insolvensi.

5.2 Fungsi Undang-Undang Kepailitan

  1. Mengatur tingkat Prioritas dan urutan masing-masing piutang para kreditor.
  2. Mengatur tata cara agar seorang debitur dapat dinyatakan pailit.
  3. Mengatur tata cara menentukan kebenaran mengenai adanya suatu piutan kreditur.
  4. Mengatur mengenai sahnya piutang atau tagihan.
  5. Mengatur mengenai jumlah yang pasti dari piutang.
  6. Mengatur bagaimana cara membagi hasil penjualan harta kekayaan debitur untuk pelunasan piutang masing-masing kreditur berdasarkan urutan tingkat prioritasnya.
  7. Untuk eksekusi sita umum oleh pengadilan terhadap harta debitur sebelum pembagian hasil penjualan.
  8. Mengatur upaya perdamaian yang ditempuh oleh debitur dengan keditur sebelum pernyataan pailit dan sesudah pernyatan pailit.

6.2 Pelindungan Kepentingan Kepailitan Perseroan

  1. Kepentingan perseroan.
  2. Kepentingan pemegang saham minoritas.
  3. Kepentingan karyawan perseroan.
  4. Kepentingan persaingan usaha yang sehat.
  5. Kepentingan masyarakat.

7.2 Perlindungan Kepentingan Kepailitan Masyarakat

  1. Pajak yang dibayar debitur oleh negara.
  2. Masyarakat yang memerlukan kesempatan kerja dari debitur.
  3. Masyarakat yang memasok barang dan jasa kepada dibitur.
  4. Masyarakat yang tergantung hidupnya dari pasokan barang dan jasa ( konsumen atau pedagang ).

8.2 Pihak yang Dapat Mengajukan Kepailitan

Selain oleh Kreditur dan Debitur sendiri, suatu permohonan pailit dapat diajukan oleh pihak-pihak lain seperti yang disebutkan dalam pasal 2 Undang-undang Kepailitan dan PKPU. Mereka adalah:

1.  Kejaksaan untuk kepentingan umum.

Yang dimaksud dengan “kepentingan umum” adalah kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas.

2.  Bank Indonesia dalam hal Debitur adalah bank

Pengajuan permohonan pernyataan pailit terhadap suatu bank sepenuhnya merupakan kewenangan Bank Indonesia. Pengajuan tersebut semata-mata didasarkan atas penilaian kondisi keuangan dan kondisi perbankan secara keseluruhan, oleh karena itu tidak perlu dipertanggungjawabkan. Kewenangan Bank Indonesia untuk mengajukan permohonan kepailitan ini tidak menghapuskan kewenangan Bank Indonesia terkait dengan ketentuan mengenai pencabutan izin usaha bank, pembubaran badan hukum, dan likuidasi bank sesuai peraturan perundang-undangan.

3.  Badan Pengawas Pasar Modal (BPPM) dalam hal Debitur adalah Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian

Permohonan pailit juga dapat diajukan oleh Badan Pengawas Pasar Modal (BPPM) karena lembaga tersebut melakukan kegiatan yang berhubungan dengan dana masyarakat yang diinvestasikan dalam efek di bawah pengawasan Badan Pengawas Pasar Modal. Badan Pengawas Pasar Modal juga mempunyai kewenangan penuh dalam hal pengajuan permohonan pernyataan pailit untuk instansi-instansi yang berada di bawah pengawasannya, seperti halnya kewenangan Bank Indonesia terhadap bank.

4.  Menteri Keuangan dalam hal Debitur adalah Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik.

9.2 Pihak yang Dapat Dijatuhkan Pailit

  1. Orang perorangan : pria dan wanita; menikah atau belum menikah. Jadi pemohon adalah debitur perorangan yang telah menikah, maka permohonan hanya dapat diajukan atas persetujuan suami atau isterinya, kecuali tidak ada percampuran harta.
  2. Perserikatan atau perkumpulan tidak berbadan hukum lainnya. Jika pemohon berbentuk Firma harus memuat nama dan tempat kediaman masimh-masing persero yang secara tanggung renteng terikat untuk seluruh utang Firma.
  3. Perseroan, perkumpulan, koperasi, yayasan yang berbadan hukum.
  4. Harta warisan.

10.2 Akibat Kepailitan

  1. Kepailitan meliputi seluruh harta kekayaan debitur pada saat pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan. Kecuali tempat tidur,pakaian, alat-alat pertukangan, buku-buku yang diperlukan dalam pekerjaan,makanan dan minuman untuk satu bulan, alimentasi atau uang yang diterima dari pendapatan anak-anaknya.
  2. Debitur demi hukum kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus harta kekayaannya yang termasuk dalam harta pailit. Sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan ( sejak pukul 00.00 waktu setempat ).
  3. Kepailitan hanya mengenai harta pailit dan tidak mengenai diri pribadi debitur pailit.
  4. Harta pailit diurus dan dikuasai curator untuk kepentingan semua kreditur dan debitur. Hakim pengawas memimpin dan mengawasi pelaksanaan jalannya kepailitan.
  5. tuntutan dan gugatan mengenai hak dan kewajiban harta pailit harus diajukan oleh atau terhadap curator.
  6. Segala perbuatan debitur yang dilakukan sebelum dinyatakan pailit, apabila dapat dibuktikan bahwa perbuatan tersebut secara sadar dilakukan debitur untuk merugikan kreditur maka dapat dibatalkan oleh curator atau kreditur atau gugatan yang diajukan curator demi menyelamatkan keutuhan harta pailit demi kepentingan kreditur  (Aktiopauliana ).
  7. Hibah dapat dibatalkan sepanjang merugikan harta kepailitan ( boedel pailit ). Missal penghibahan 40 hari menjelang kepailitan dianggap dibuat untuk  merugikan para kreditur.
  1. Perikatan selama kepailitan yang dilakukan debitur apabila perikatan tersebut menguntungkan bisa diteruskan. Namun apabila perikatan tersebut dapat merugikan, maka kerugian sepenuhnya ditanggung oleh debitur secara pribadi atau perikatan tersebut dapat dimintakan pembatalan.
  2. Kepailitan suami atau istri yang kawin dalam satu persatuan harta, diperlakukan sebagai kepailitan persatuan harta tersebut.

11.2 Cara Penundaan Kepailitan

Cara penundaan kepailitan ini dapat ditempuh dengan mekanisme pengajuan perdamaian. Debitur pailit berhak untuk menawarkan suatu perdamaian kepada semua Kreditur atau melakukan PKPU.

l      Jika pengesahan perdamaian telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kepailitan berakhir.

l      Kurator wajib mengumumkan perdamaian tersebut dalam Berita Negara Republik Indonesia dan paling sedikit 2 surat kabar harian.

l      Jika tidak ditentukan lain, Kurator wajib mengembalikan kepada Debitur semua benda, uang, buku dan dokumen yang termasuk harta pailit dengan tanda terima yang sah.

12.2 Prosedur Permohonan Pailit

Bagaimana prosedur permohonan pailit? Hal ini diatur dalam pasal 6 UUK,yaitu sebagai berikut :

(1)      Permohonan pernyataan pailit diajukan kepada ketua pengadilan.

(2)      Penitera mendaftarkan permohonan pernyataan pailit pada tanggal permohonan yang bersangkutan diajukan, dan kepada pemohon diberikan tanda terima tertulis yang ditandatangani oleh pejabat yang berwenang dengan tanggal yang sama dengan tanggal pendaftaran.

(3)      Penitera wajib menolak pendaftaran permohonan pernyataan pailit bagi institusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3),(4) dan ayat (5) jika dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan dalam ayat-ayat tersebut.

(4)      Panitera menyampaikan permohonan pernyataan pailit kepada ketua pengadilan paling lambat 2 (dua) hari setelah tanggal permohonan didaftarkan.

(5)      Dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) hari setelah tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan,pengadilan mempelajari permohonan dan menetapkan hari sidang.

(6)      Sidang pemeriksaan atas permohonan pernyatan pailit diselenggarakan dalam jangka waktu paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah tanggal permohonan didaftarkan.

(7)      Atas permohonan debitur dan berdasarkan alasan yang cukup, pengadilan dapat menunda penyelenggaraan sidang sebagaimana dimaksud pada ayat (5) sampai dengan paling lambat 25 (dua puluh lima) hari setelah tanggal permohonan didaftarkan.

13.2 Upaya Hukum

Jika para pihak tidak puas terhadap keputusan pengadilan niaga, dapat mengadakan upaya hukum, yakni kasasi. Dijabarkan dalam Pasal 11 UUK, yang mengemukakan :

(1)      Upaya hukum yang dapat diajukan terhadap putusan atas permohonan pernyataan pailit adalah kasasi ke MA.

(2)      Permohonan kasasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan paling lambat 8 (delapan) hari setelah tanggal putusan yang domohonkan kasasi diucapkan, dengan mendaftarkan kepada panitera pengadilan yang telah memutus permohonan pernyataan pailit.

(3)      Permohonan kasasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) selain dapat diajukan oleh debitor dan kreditor yang merupakan pihak pada persidangan tingkat pertama, juga dapat diajukan oleh kreditur lain yang bukan merupakan pihak pada persidangan tingkat pertama yang tidak puas terhadap putusan atas permohonan pernyataan pailit.

(4)      Panitera mendaftar permohonan kasasi pada tanggal permohonan yang bersangkutan diajukan dan kepada pemohon diberikan tanda terima tertulis yang ditandatangani panitera dengan tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan pendaftaran.

14.2 Putusan Pailit

Jika pengadilan menerima permohonan pailit,diangkat curator untuk melaksanakan tugas pengurusan dan atau pemberesan atas harta pailit. Curator dapat ditunjuk oleh :

a.  Debitor atau kreditor

b. Pengadilan

Curator adalah pihak yang diberi tugas untuk melakukan pengurusan dan atau pemberesan atas harta pailit. Dalam melakukan tugasnya, kurator :

  1. Tidak diharuskan memperoleh persetujuan dari atau menyampaikan pemberitahuan terlebih dahulu kepada debitur atau salah satu organ debitur, meskipun dalam keadaan diluar kepailitan persetujuan atau pemberitahuan demikian dipersyaratkan;
  2. Dapat melakukan pinjaman dari pihak ketiga, semata – mata dalam meningkatkan nilai harta pailit. Bila dalam melakukan pinjaman dari pihak ketiga curator perlu membebani harta pailit dengan hak tanggungan, gadai atau hak agunan atas kebendaan lainnya, maka pinjaman tersebut harus terlebih dahulu memperoleh persetujuan hakim pengawas.

Curator yang dimaksud di atas terdiri dari 2 macam, yaitu :

  1. Balai Harta Peninggalan (BHP)
  2. Curator lainnya yaitu perseorangan atau persekutuan perdata yang berdomisili di Indonesia yang memiliki keahlian khusus yang dibutuhkan dalam rangka mengurus dan atau membereskan harta pailit dan telah terdaftar pada departemen Kehakiman.

Dalam melaksanakan tugasnya, curator bertanggung jawab atas kesalahan atau kelalaiannya yang menyebabkan kerugian terhadap harta pailit.

Imbalan jasa curator yang berakhir dengan perdamaian :

  1. 1. SAMPAI DG RP. 50 M                                   = 6 %
  2. 2. KELEBIHAN DIATAS RP.50 M – 250 M    = 4,5 %
  3. 3. KLBDIATAS RP.250 M – 500 M                   = 3 %
  4. 4. KLB DIATAS RP. 500 M                                = 1,5 %

CONTOH: BILA HARTA PAILIT RP. 600M

1.   6 % DR RP 50 M                                       = 3 M

2.   4,5 % DARI  RP. 200 M                            =  9 M

  1. 3. 3 % DARI RP. 300 M                                      =  7,5 M
  2. 4. 1,5 %  DARI RP. 100 M                                   =  1,5 M

JUMLAH  PENERIMAAN            RP. 21 MILYAR

Berakhir dengan pemberesan

  1. 1. SAMPAI DG RP. 50 M                                   = 10  %
  2. 2. KELEBIHAN DIATAS RP.50 M – 250 M    = 7,5 %
  3. 3. KLBDIATAS RP.250 M – 500 M                   = 5 %
  4. 4. KLB DIATAS RP. 500 M                                = 2,5 %

CONTOH: BILA HARTA PAILIT RP. 600M

1.   10 % DR RP 50 M                                     = 5 M

2.   7,5 % DARI  RP. 200 M                            = 15 M

  1. 3. 5 % DARI RP. 300 M                                       =12,,5 M
  2. 4. 2,5 %  DARI RP. 100 M                                   = 2,5 M

JUMLAH  PENERIMAAN KURATOR  RP. 35,5 M

15.2 Berakhirnya Kepailitan

Pembatalan oleh MA setelah adanya upaya hukum.

  1. Pencabutan kepailitan atas usul curator karena kekayaan debitur sangat tidak mencukupi untuk membayar utang.
  2. Pemberesan.
  3. Perdamaian.
  • PENUNDAAN PEMBAYARAN

Pengertian Penundaan Pembayaran

  • Diatur pada Bab II UU Kepailitan
  • Merupakan prosedur hukum yang memberikan hak kepada setiap debitur yang tidak dapat atau memperkirakan bahwa tidak akan dapat melanjutkan utang-utang yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih, dapat memohon penundaan kewajiban pembayaran utang dengan maksud untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran seluruh atau sebagian utang kepada kreditur konkuren.

Akibat adanya PKPU adalah :

  1. Debitur tidak dapat melakukan tindakan kepengurusan atau memindahkan hak atas sesuatu bagian dari hartanya, jika debitur melanggar, pengurus berhak melakukan segala sesuatu untuk memastikan bahwa harta debitur tidak dirugikan karena tindakan debitur tersebut.
  2. Debitur tidak dapat dipaksa membayar utang – utangnya dan semua tindakan eksekusi yang telah dimulai guna mendapatkan pelunasan utang, harus ditangguhkan.
  3. Debitur berhak membayar utangnya kepada semua kreditur bersama – sama menurut imbangan piutang masing – masing.
  4. Semua sitaan yang telah dipasang berakhir.

Pengadilan Niaga

Sejak diundangkannya Undang – Undang Kepailitan, maka pengadilan yang berhak memutus pernyataan pailit dan penundaan kewajiban pembayaran uang adalah Pengadilan Niaga yang berada di lingkungan Peradilan Umum. Untuk pertama kalinya Pengadilan Niaga yang dibentuk adalah Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Hukum acara yang dipakai pada pengadilan niaga ini adalah hukum acara perdata yang umum berlaku pada Pengadilan Umum. Atas putusan Pengadilan Niaga hanya dapat diajukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung. Selanjutnya atas putusan Pengadilan Niaga yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap tersebut tetap dapat diajukan upaya hukum lain yaitu Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung dengan syarat :

–          Terdapat bukti tertulis baru;

–          Pengadilan Niaga telah melakukan kesalahan berat dalam penetapan hukumnya.

Hakim Pengadilan Niaga dapat diangkat berdasarkan surat keputusan Ketua Mahkamah Agung dan harus mempunyai syarat – syarat yang telah ditentukan, yaitu :

  1. Telah berpengalaman sebagai hakim dalam lingkungan Peradilan Umum;
  2. Mempunyai dedikasi dan menguasai pengetahuan di bidang masalah – masalah yang menegnai lingkup kewenangan Pengadilan Niaga;
  3. Berwibawa, jujur, dan berkelakuan tidak tercela;
  4. Telah berhasil menyelesaikan program pelatihan khusus sebagai hakim pada Pengadilan Niaga.

PKPU diajukan oleh Debitur yang mempunyai lebih dari satu kreditur atau oleh Kreditur.

Debitur yang tidak akan dapat melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dapat memohon PKPU, dengana maksud untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada Kreditur.

l      Selama PKPU, Debitur tanpa persetujuan pengurus tidak dapat melakukan tindakan kepengurusan atau kepemilikan atas seluruh atau sebagian hartanya.

l      Selama PKPU, Debitur tidak dapat dipaksa membayar utang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 245 dan semua tindakan eksekusi yang telah dimulai untuk pelunasan utang, harus ditangguhkan.

l      PKPU tidak menghentikan perkara yang sudah dimulai oleh Pengadilan atau menghalangi diajukannya perkara baru.
Dalam PKPU dikenal yang namanya Pengurus, tugasnya hampir sama dengan kurator dalam kepailitan. Begitu putusan PKPU sementara dikabulkan, pengadilan wajib mengangkat pengurus yang akan membantu debitor menjalankan kegiatannya. Sama halnya dengan kurator, pengurus pun harus independen, tidak mempunyai benturan kepentingan dengan kreditor atau debitor. Bila terbukti pengurus tidak independen dikenakan sanksi pidana dan/atau perdata sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pengurus bertanggung jawab terhadap kesalahan atau kelalaiannya dalam melaksanakan tugas pengurusan yang menyebabkan kerugian terhadap harta Debitor. Syarat untuk menjadi pengurus ialah sebagai berikut: :

a. orang perseorangan yang berdomisili di Indonesia, yang memiliki keahlian khusus yang dibutuhkan dalam rangka mengurus dan/atau membereskan harta pailit;
b. terdaftar pada pada Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, mengenai tata cara pendaftaran kurator diatur dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M. 01-HT.05.10 Tahun 2005 tentang Pendaftaran Kurator dan Pengurus.

Dalam PKPU ini tidak dikenal adanya pengurus sementara, dan pengurus ini pun hanya dari pengurus swasta. Balai Harta Peninggalan tidak dapat menjadi pengurus dalam PKPU. Pengurus bertanggung jawab terhadap kesalahan atau kelalaian dalam melaksanakan tugas pengurusan yang menyebabkan kerugian terhadap harta debitor. Tentang imbalan jasa pengurus ini ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman RI No. M. 09-HT.05.10 Tahun 1998 tentang Pedoman Besarnya Imbalan Jasa Kurator dan Pengurus.

Apabila diangkat lebih dari satu pengurus, untuk melakukan tindakan yang sah dan mengikat, pengurus memerlukan persetujuan lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah pengurus. Apabila suara setuju dan tidak setuju sama banyaknya, tindakan tersebut harus memperoleh persetujuan Hakim Pengawas. Pengadilan setiap waktu dapat mengabulkan usul penggantian pengurus, setelah memanggil dan mendengar pengurus, dan mengangkat pengurus lain dan atau mengangkat pengurus tambahan berdasarkan:

a. usul Hakim Pengawas;

b. permohonan Kreditor dan permohonan tersebut hanya dapat diajukan apabila didasarkan atas persetujuan lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah Kreditor yang hadir dalam rapat Kreditor;

c. permohonan pengurus sendiri; atau

d. permohonan pengurus lainnya, jika ada.

3. Hakim Pengawas

Selain mengangkat pengurus, setelah putusan PKPU sementara dikabulkan oleh pengadilan maka pada saat itu juga diangkat Hakim Pengawas. Tugas Hakim Pengawas ini pada dasarnya juga sama dengan tugas Hakim Pengawas dalam kepailitan, yaitu mengawasi jalannya proses PKPU. Apabila diminta oleh pengurus, Hakim pengawas dpat mendengar saksi atau memerintahkan pemerinsaan oleh ahli untuk menjelaskan keadaan yang menyangkut PKPU, dan saksi tersebut dipanggil sesuai dengan ketentuan dalam Hukum Acara Perdata. Hakim Pengawas setiap waktu dapat memasukkan ketentuan yang dianggap perlu untuk kepentingan Kreditor berlangsungnya penundaan kewajiban pembayaran utang tetap, berdasarkan:

a. prakarsa Hakim Pengawas;

b. permintaan pengurus; atau

c. permintaan satu atau lebih Kreditor.

4. Panitia Kreditor

Menurut Pasal 231, Pengadilan harus mengangkat panitia kreditor apabila :
a. Permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang meliputi utang yang bersifat rumit atau banyak kreditor; atau

b. Pengangkatan tersebut dikehendaki oleh kreditor yang mewakili paling sedikit ½ (satu per dua) bagian dari seluruh tagihan yang diakui.

Dalam menjalankan tugas dan kewajibannya, pengurus harus meminta dan mempertimbangkan saran dari panitia kreditor ini.

5. Ahli

Setelah PKPU dikabulkan Hakim Pengawas dapat mengangkat satu atau lebih ahli untuk melakukan pemeriksaan dan menyusun laporantentang keadaan harta Debitor dalam jangka waktu tertentu berikut perpanjangannya yang ditetapkan oleh Hakim Pengawas. Laporan ahli harus memuat pendapat yang disertai dengan alasan lengkap tentang keadaan harta Debitor dan dokumen yang telah diserahkan oleh Debitor serta tingkat kesanggupan atau kemampuan Debitor untuk memenuhi kewajibannya kepada Kreditor, dan laporan tersebut harus sedapat mungkin menunjukkan tindakan yang harus diambil untuk dapat memenuhi tuntutan Kreditor. Laporan ahli harus disediakan oleh ahli tersebut di Kepaniteraan Pengadilan agar dapat dilihat oleh setiap orang dengan cuma-cuma dan penyediaan laporan tersebut tanpa dipungut biaya.

Pengajuan PKPU

  1. Penundaan pembayaran utang diajukan oleh debitur yang mempunyai lebih dari satu kreditur, yaitu apabila debitur tidak dapat atau memperkirakan tidak dapat membayar utang-utangnya yang sudah jatuh tempo.
  2. Penundaan pembayaran utang diajukan oleh kreditur agar memungkinkan debitur mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran kepada krediturnya.
  3. Selama PKPU berlangsung tidak diajukan permohonan pailit.
  4. Kalau permohonan dikabulkan ditunjuk hakim pengawas dan pengurus.

Dua tahap PKPU :

PKPU Sementara

  1. Pengadilan Niaga harus mengabulkan. Diberikan untuk jangka waktu maksimum 45 hari

PKPU Tetap

  1. PKPU Tetap diberikan untuk jangka waktu maksimum 270 hari,apabila pada hari ke 45 atau hari rapat kreditur tersebut belum dapat memberikan suara mereka terhadap rencana tersebut

Akibat Hukum dari PKPU

  1. Debitur kehilangan kebebasan atas harta kekayaannya.
  2. Debitur tidak dapat dipaksa membayar utang dan pelakasanaan eksekusi dapat ditangguhkan.
  3. Sitaan berakhir dan dapat diangkat.
  4. Perkara yang sedang berjalan ditangguhkan.
  5. PKPU tidak berlaku bagi kreditur yang didahulukan.

Berakhirnya PKPU

Atas permintaan hakim pengawas, satu atau lebih kreditur atau prakarsa Pengadilan, PKPU dapat diakhiri dalam hal:

  1. Debitur, selama PKPU, bertindak dg itikad buruk dalam megurus hartanya;
  2. Debitur telah merugikan atau telah mencoba merugikan krediturnya;
  3. Debitur melanggar ketentuan Pasal 240 ayat (1);
  4. Debitur lalai melaksanakan tindakan2 yg diwajibkan oleh Pengadilan saat atau setelah PKPU diberikan, atau lalai melkukan tindakan2 yg disyaratkan oleh pengurus demi kepentingan harta Debitur;
  1. Selama PKPU, keadaan harta Debitur ternyata tidak lagi memungkinkan dilanjutkan PKPU atau;
  2. Keadaan Debitur tidak dapat diharapkan untuk memenuhi kewajibannya terhadap Kreditur pada waktunya.
  3. Jika PKPU diakhiri, Debitur harus dinyatakan pailit dalam putusan yang sama.

Perbedaan antara Kepailitan dan Penundaan Pembayaran

Bahwa orang yang telah dinyatakan pailit itu sudah dianggap tidak mempunyai kekayaan sedangkan dalam hal penundaan pembayaran orangnya masih mempunyai kekayaan.

BAB III

ANALISIS KASUS

KASUS           :

l      Pertama, dalam kasus  kepailitan yang diajukan oleh PT Bank PDFCI sebagai Pemohon pailit terhadap PT. Sarana Kemas Utama selaku Termohon Pailit. Permohonan pailit dikabulkan hakim pengadilan niaga. Persoalan muncul dalam kasasi karena Pemohon Kasasi keberatan atas status Termohon Kasasi/Pemohon Pailit sebagai Bank BTO pada saat permohonan pailit diajukan. Menurut Pemohon Kasasi atau termohon pailit, sejak tanggal 3 April 1998 status Termohon Kasasi adalah bank BTO dan manajemen telah diambil alih atau dikuasai oleh dan berada di bawah BPPN. Oleh karena itu surat kuasa Termohon Kasasi atau Pemohon Pailit harus dengan sepengetahuan atau setidak-tidaknya diketahui oleh BPPN. Keberataan ini sebenarnya pernah diajukan pada sidang pengadilan niaga, namun judex factie sama sekali tidak mempertimbangkan keberatan tersebut dalam putusannya. Karena itu judex factie telah melakukan kesalahan dalam penerapan hukum.

l      Majelis Hakim Kasasi memandang bahwa Termohon Kasasi atau Pemohon Pailit dalam status Bank BTO tetap sah sebagai Pemohon Pailit, karena pernyataan BTO sama sekali tidak menghapuskan status Termohon Kasasi atau Pemohon Pailit sebagai badan hukum yang dapat bertindak sebagai pihak dalam proses perkara dan dengan demikian pembuatan surat kuasapun tetap sah dan tidak perlu sepengetahuan dan atau  ijin pemerintah c.q. BPPN. Karena itu Majelis Hakim Kasasi membenarkan putusan Judex facxtie. Atas putusan ini Pemohon Kasasi atau Termohon Pailit mengajukan PK.

l      Dalam permohonan PK, Pemohon PK atau Pemohon Kasasi atau Termohon Pailit kembali mempersoalkan kewenangan hukum atau legal capacity Pemohon Pailit dalam hal ini Bank PDFCI yang telah dikenakan status Bank BTO pada saat mengajukan permohonan pernyataan pailit. Menurut Pemohon PK atau Pemohon Kasasi atau Termohon Pailit, Majelis Hakim Kasasi dan Judex Facxtie telah melakukan kesalahan berat dalam menerapkan hukum mengenai kewenangan hukum Bank BTO. Dikatakan bahwa Termohon PK atau Termohon Kasasi atau Pemohon Pailit sejak tanggal 3 April 1998 telah menjadi Bank BTO sehingga manajemen dan operasional telah diambil alih oleh BPPN sesuai dengan ketentuan Pasal 37 Ayat (1) UU No.10 Thn 1998. Pada hal permohonan pailit yang diajukan Termohon PK atau Pemohon Pailit dilakukan pada tanggal 30 September 1998 yaitu pada saat Termohon PK atau Pemohon Pailit sudah berstatus Bank BTO tanpa persetujuan kuasa dari BPPN.

l      Majelis Hakim PK dalam perkara ini membenarkan pendapat yang diajukan Pemohon PK atau Termohon Pailit atau Pemohon Kasasi, karena menurut Majelis terdapat kesalahan berat dalam menerapkan hukum tentang status dan kewenangan Bank BTO sebab Direksi Bank PDFCI Tbk yang telah dinyatakan dalam status BTO sejak 3 April 1998 tidak lagi memiliki kewenangan untuk melakukan suatu perbuatan hukum ( legal capacity ) termasuk mengajukan gugatan atau permohonan pailit di muka pengadilan untuk kepentingan bank tersebut. Karena manajemen dan operasionalnya telah diambilalih atau dikuasai oleh dan berada di bawah pengawasan BPPN, maka surat kuasa yang dibuat Direksi yang menjadi dasar permohonan pailit terhadap Pemohon PK atau Termohon Pailit adalah tidak sah. Berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut MA terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan PK yang diajukan PT Sarana Kemas Utama selaku Termohon Pailit atau Pemohon Kasasi atau Pemohon PK dan membatalkan Putusan MA 14 Desember 1998 No.04 K/N/1998.

BAB IV

PENUTUP

  1. Kesimpulan

Krisis moneter membuat hutang menjadi membengkak luar biasa sehingga mengakibatkan banyak sekali Debitor tidak mampu membayar utang-utangnya. Di samping itu, kredit macet di perbankan dalam negeri juga makin membubung tinggi secara luar biasa (sebelum krisis moneter perbankan Indonesia memang juga telah menghadapi masalah kredit bermasalah yaitu sebagai akibat terpuruknya sektor riil karena krisis moneter.

Dirasakan bahwa peraturan kepailitan yang ada, sangat tidak dapat diandalkan. Banyak Debitor yang dihubungi oleh para Kreditornya karena berusaha mengelak untuk tanggung jawab atas penyelesaian utang-utangnya. Sedangkan restrukturisasi utang hanyalah mungkin ditempuh apabila Debitor bertemu dan duduk berunding dengan para Kreditornya atau sebaliknya.

Di samping adanya kesediaan untuk berunding itu, bisnis Debitor harus masih memiliki prospek yang baik untuk mendatangkan revenue, sebagai sumber pelunasan utang yang direstrukturisasi itu. Dengan demikian diharapkan adanya feedback antara kreditor dan debitor dengan baik. Sehingga dirasakan dapat menguntungkan kedua belah pihak.

  1. Saran

Seyogyanya Majelis Hakim pengadilan niaga dalam memeriksa perkara kepailitan harus tetap memperhatikan kaidah-kaidah hukum yang berlaku seperti memperhatikan subyek yang menjadi persengketaan.

DAFTAR PUSTAKA

Radjagukguk, Erman., Peranan Hukum Dalam Pembangunan Pada Era Globalisasi, Jurnal Hukum Vol.II No.6

Sembiring Sentosa,Hukum Dagang, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 2008

Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

Fred B.G.Tumbuan, Pokok-pokok Penyempurnaan Aturan Tentang Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Makalah disampaikan dalam Lokakarya Undang-Undang Kepailitan,Jakarta,3-14 Agustus 1998.

Search Engine:

www.google.com

www.wikipedia.co.id

.


[1] Erman Radjagukguk, Peranan Hukum Dalam Pembangunan Pada Era Globalisasi, Jurnal Hukum No 2. Vol 6. Hlm

114

UNDERWRITING,AKTUARIA,MANAGEMEN RISIKO,DAN PENILAIAN KERUGIAN

3

UNDERWRITING

Underwriting adalah sebuah proses identifikasi dan seleksi risiko dari calon tertanggung yang mengasuransikan dirinya di sebuah perusahaan asuransi.

Individu yang melakukan proses underwriting adalah seorang underwriter. Underwriting muncul karena adanya beberapa faktor yang mendasari. Salah satu diantaranya adalah sebuah usaha agar calon tertanggung mendapatkan beban premi yang sesuai dengan risiko yang di milikinya dengan kata lain ada keadilan dalam pembebanan premi. Selain itu, pembebanan premi harus tidak merugikan perusahaan asutransi. Coba bayangkan ketika tidak ada underwriting dalam perusahaan asuransi, tertanggung dengan risiko tinggi bisa dengan mudahnya mendapatkan perlindungan asuransi dengan beban premi standar padahal jika terjadi risiko akan sangat merugikan perusahaan.

Penambahan atau pengurangan premi karena adanya proses underwriting sering dinamakan sebagai proses rating. Orang dengan risiko yang standar atau tidak memiliki kecendrungan untuk merugikan perusaahaan dalam waktu yang relatif pendek akan dikenakan rating standar atau tidak ada penambahan premi untuk risikonya. Sedangkan orang dengan tingkat risiko diatas standar akan masuk kedalam kelas Substandar yang akan dikenakan premi lebih tinggi dari premi standar. Untuk case dimana individu tidak merokok dan memiliki risiko rata-rata maka dia akan dimasukkan kedalam Super preferred class yang dalam bahasa umum dikenakan premi lebih rendah dari premi standar.

Jenis-jenis risiko pun dapat di kelompokkan dalam beberapa jenis diantaranya : Risiko pekerjaan, risiko kesehatan, Risiko karena hobby yang disukai ataupun risiko karena daerah yang ditempati. Bagaimanapun juga jenis-jenis risiko ini membantu seorang underwriter untuk melakukan klasifikasi risiko dari calon tertanggung.

AKTUARIA

Aktuaria adalah bidang ilmu perpaduan antara matematika, statistika dan ekonomi yang berperan dalam menilai atau memperkirakan risiko

Keahlian aktuaris :

  1. Mengevaluasi kemungkinan kejadian-kejadian yang akan datang
  2. Menyelesaikan cara untuk mengurangi kemungkinan kejadian yang tidak di inginkan
  3. Menurunkan dampak dari kejadian yang tidak di inginkan

MANAJEMEN RISIKO

Sebagai suatu organisasi, perusahaan pada umumnya memiliki tujuan dalam mengimplementasikan manajemen risiko. Tujuan yang ingin dicapai antara lain adalah : mengurangi pengeluaran, mencegah perusahaan dari kegagalan, menaikkan keuntungan perusahaan, menekan biaya produksi dan sebagainya. Apa itu ‘manajemen risiko’?

Manajemen risiko adalah proses pengelolaan risiko yang mencakup identifikasi, evaluasi dan pengendalian risiko yang dapat mengancam kelangsungan usaha atau aktivitas perusahaan.

Asuransi adalah salah satu bentuk pengendalian risiko yang dilakukan dengan cara mengalihkan/transfer risiko dari satu pihak ke pihak lain dalam hal ini adalah perusahaan asuransi

Apakah semua risiko dapat diasuransikan?

Tidak semua risiko dapat diasuransikan. Risiko-risiko yang dapat diasuransikan adalah : risiko yang dapat diukur dengan uang, risiko homogen (risiko yang sama dan cukup banyak dijamin oleh asuransi), risiko murni (risiko ini tidak mendatangkan keuntungan), risiko partikular (risiko dari sumber individu), risiko yang terjadi secara tiba-tiba (accidental), insurable interest (tertanggung memiliki kepentingan atas obyek pertanggungan) dan risiko yang tidak bertentangan dengan hukum.

Konsep dasar  semua risiko mengandung ketidakpastian. Sebagian dari risiko tersebut dapat dialihkan kepada asuransi, sehingga dikatakan bahwa salah satu cara pengalihan risiko adalah dengan cara berasuransi. Namun tentu tidak semua risiko dapat diasuransikan. Ketidakpastian yang terdapat dalam setiap risiko mencakup dua hal, yaitu ketidakpastian mengenai:
1.  Terjadi atau tidak terjadinya peristiwa yang menimbulkan kerugian.

2. Besar kecilnya kemungkinan kerugian jika terjadi peristiwa yang menimbulkan kerugian tersebut. Sehingga dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa manajemen risiko adalah;

“suatu kegiatan atau langkah-langkah pengelolaan risiko yang mencakup identifikasi, evaluasi dan pengendalian risiko yang dapat mengancam kelangsungan usaha atau aktivitas perusahaan”.

Tahap-tahap Manajemen Risiko:

  • Mengidentifikasi terlebih dahulu risiko-risiko yang mungkin akan dialami oleh perusahaan
  • Mengevaluasi atas masing-masing risiko ditinjau dari severity (nilai risiko) dan frekuensinya
  • Mengendalikan risiko, secara fisik (risiko dihilangkan, risiko di minimalisir) dan ataupun secara finansial (risiko ditahan, risiko ditransfer)
  • Menghilangkan risiko berarti menghapuskan semua kemungkinan terjadinya kerugian misalnya dalam mengendarai mobil di musim hujan, kecepatan kendaraan dibatasi maksimum 60 km/jam
  • Meminimasi risiko dilakukan dengan upaya-upaya untuk meminimumkan kerugian misalnya dalam produksi, peluang terjadinya produk gagal dapat dikurangi dengan pengawasan mutu (quality control)
  • Menahan sendiri risiko berarti menanggung keseluruhan atau sebagian dari risiko, misalnya dengan cara membentuk cadangan dalam perusahaan untuk menghadapi kerugian yang bakal terjadi (retensi sendiri)
  • Pengalihan/transfer risiko dapat dilakukan dengan memindahkan kerugian/risiko yang mungkin terjadi kepada pihak lain, misalnya perusahaan asuransi

Detail Kegiatan Manajemen Risiko

Teknik mengelola risiko melalui proses :

  • Identifikasi risiko (menginventarisasi risiko yang dimiliki suatu obyek)
  • Analisa risiko (menganalisa profil risiko yang teridentifikasi)
  • Evaluasi risiko (mengukur frekuensi dan dampak terhadap risiko yang ada)
  • Pengendalian risiko.(Retain, Reduce, Eliminate, Transfer to Insurance)

Tujuan :

  • Memahami risiko atas suatu obyek.
  • Meningkatkan tingkat Kesehatan Keselamatan Kerja (K3).
  • Meningkatkan efisiensi atas beban operasional perusahaan.

Risk Survey / Assessment
Survey terhadap obyek yang akan diasuransikan serta hal-hal lain yang dapat mempengaruhi besar kecilnya risiko terhadap obyek yang akan diasuransikan.

Tujuan :

  • Mengetahui secara detil obyek yang akan diasuransikan, meliputi : jenis, jumlah dan spesifikasi obyek, lokasi, legalitas, kepemilikan, potensi klaim, kemungkinan besaran kerugian jika terjadi klaim, safety factor, dll.
  • Meyakinkan Underwriter / Perusahaan Asuransi bahwa calon Tertanggung memiliki itikad terbaik dalam berasuransi.

Risk Valuation
Penilaian (Appraisal) terhadap obyek yang diasuransikan.

Tujuan :

  • Mendapatkan nilai yang sebenarnya atas obyek yang akan diasuransikan.
  • Menghindari under Insured, manakala nilai pertanggungan lebih kecil daripada actual value.

PENILAIAN KERUGIAN ASURANSI

Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi adalah Perusahaan yang memberikan jasa penilaian terhadap kerugian pada obyek asuransi yang di pertanggungkan

HUKUM ASURANSI

0
  1. ISTILAH DAN DEFINISI PERASURANSIAN

1)      Sebelum mengetahui apa itu asuransi, kita harus mengetahui istilah apa saja yang sering digunakan dalam asuransi. Diantaranya yaitu :

a. Pertanggungan = Asuransi = Verhekering ( Incerantie )

Insurance

b.Tertanggung ( terjamin) = Insured = Verzekerde

c. Penganggung ( penjamin ) = Insurer = Verzekeraar atau asuradur

2)      Dasar Hukum dari hukum asuransi yaitu Burgelijk Wetboek ( BW) atau Hukum Perdata dan Wet Van Kophandel ( WvK) atau hukum Dagang.

3)            Definisi Asuransi atau Pertanggungan

  1. Pasal 1774 BW

Asuransi sebagai suatu persetujuan untung-untungan ( kans overeenkomst) adalah suatu perbuatan yang hasilnya mengenai untung rugi baik bagi semua pihak maupun bagi sementara pihak bergantung pada suatu kejadian yang belum pasti,karena :

  • Jika terjadi kejadian yang semula belum pasti maka kejadian ini merugikan perusahaan asuransi/penanggung karena harus mengganti kerugian tertanggung.

Dan merupakan keuntungan bagi tertanggung karena atas kejadian tersebut memperoleh penggantian atau ada yang menanggung resiko yaitu penanggung.

  • Jika sempai dengan berakhirnya masa asuransi tidak terjadi suatu kejadian/peristiwa yang semula belum pasti maka menguntungkan bagi perusahaan asuransi sedangkan bagi tertanggung merasa dirugikan karena telah membayar premi.

Contohnya adalah asuransi jiwa dan asuransi kerugian.

  1. Pasal 246 WvK

Asuransi adalah suatu persetujuan / perjanjian dengan mana seorang penanggung mengikat dirinya kepada seorang tertanggung dengan menerima suatu premi untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan yang mungkin akan di deritanya karena suatu peristiwa yang tidak tentu.

Molenggraaff mengatakan asuransi kerugian adalah persetujuan dengan mana satu pihak penanggung mengikatkan diri terhadap yang lain atau tertanggung untuk mengganti kerugian yang dapat diderita oleh tertanggung karena terjadinya suatu peristiwa yang telah dituju dan yang belum tentu serta kebetulan dengan mana pula tertanggung berjanji untuk membayar premi.

Pada asuransi tertanggung membayar premi kepada penanggung lalu penanggung mendapatkan polis.

Apakah polis merupakan syarat mutlak ? polis bukan merupakan syarat mutlak karena ada bukti-bukti lain untuk menagih ganti rugi.

Jika belum mendapatkan polis tetapi sudah terjadi suatu peristiwa maka dapat menggunakan surat-surat lain. Bisa dengan kwitansi awal pembayaratn premi.

Contoh: jika terjadi suatu kebakaran rumah maka harus dapat di buktikan apakah ada unsur kesengajaan atau tidak.

  1. UNSUR-UNSUR ASURANSI

Unsur-unsur asuransi menurut pasal 246 WvK antara lain;

  1. adanya premi
  2. adanya penggantian kerugian
  3. adanya peristiwa yang belum tentu terjadi

Berdasarkan Molenggraaff yaitu :

  1. adanya satu pihak yang mengikatkan diri untuk membayar premi yaitu tertanggung.
  2. adanya pihak lain yang mengikatkan diri untuk membayar sejumlah uang yaitu penanggung.
  3. pembayaran penanggung digantungkan kepada terjadinya suatu peristiwa yang kebetulan yang belum tentu berhubung dengan mana tertanggung ada kepentingan.

Unsur-unsur asuransi secara umum meliputi :

  1. adanya para pihak yaitu penanggung dan tertanggung
  2. adanya status
  3. adanya obyek( benda, hak kepentingan yang melekat pada benda )
  4. hubungan hukum
  5. adanya subjek
  6. adanya peristiwa asuransi
    1. HAK DAN KEWAJIBAN TERTANGGUNG

Hak-hak tertanggung meliputi :

  1. menerima polis (surat perjanjian asuransi )
  2. mendapat ganti kerugian bila terjadi peristiwa
  3. hak-hak lainnya sebagai imbalan dari kewajiban penanggung

Kewajiban dari tertanggung meliputi :

  1. membayar premi
  2. memberitahukan keadaan-keadaan sebenarnya mengenai barang-barang yang dipertanggungkan ( pasal 251 WvK )
  3. mencegah agar kerugian dapat dibatasi ( pasal 283 WvK )
  4. kewajiban khusus yang mungkin disebut di dalam polis
  5. HAK DAN KEWAJIBAN PENANGGUNG

Hak-hak penanggung diantaranya :

  1. menerima premi
  2. menerima pemberitahuan keadaan sebenarnya dari tertanggung
  3. hak-hak lainnya sebagai imbalan dari kewajiban tertanggung

Kewajiban penanggung diantaranya :

  1. memberikan polis kepada tertanggung
  2. mengganti kerugian dalam asuransi ganti rugi dan memberikan sejumlah uang yang telah disepakati dalam asuransi
  3. melaksanakan premi restorno ( pasal 281 WvK ) kepada tertanggung yang beritikad baik berhubung penanggung untuk seluruhnya atau sebagian tidak menanggung resiko lagi dan asuransi gugur atau batal seluruhnya atau sebagian.
  4. SIFAT ASURANSI

Adapun sifat dari asuransi yaitu :

  1. Selaku gejala hukum dan ekonomi ( Wirjono Prodjodikoro )

Di dalam gejala hukum seperti telah diterangkan dalam asuransi karena asuransi berdasarkan pasal 1774 BW dan 246 WvK. Dari gejala ekonomi bila terjadi suatu peristiwa kemampuan manusia terbatas bila menderita kerugian akibat suatu peristiwa yang tidak di duga semua seperti pencurian, kecelakaan akan di tanggung sendiri atau dilimpahkan kepada perusahaan asuransi.

Kesimpulannya yaitu bahwa asuransi itu untuk memperkecil resiko kerugian tersebut mengadakan perjanjian asuransi dalam hal asuransi sebagai atau selaku gejala ekonomi dapat berfungsi sebagai pembagian resiko dan pemindahaan resiko.

  1. Ditinjau secara umum sifat asuransi diantaranya :

Perjanjian asuransi merupakan :

1)      Perjanjian timbal balik disebabkan dalam perjanjian asuransi masing-masing pihak mempunyai hak dan kewajiban yang saling berhadapan.

2)      Perjanjian bersyarat karena kewajiban penanggung untuk memberikan penggantian kepada tertanggung digantungkan pada terjadinya peristiwa yang diperjanjikan. Apabila peristiwa yang dimaksud tidak terjadi,kewajiban penanggung tidak timbul sebaliknya jika peristiwa terjadi tetapi tidak sesuai dengan yang disebut dalam perjanjian, penanggung juga tidak diwajibkan untuk membayar atau memberikan penggantian.

3)      Perjanjian untuk mengalihkan atau membagi resiko karena usaha seseorang untuk menghadapi suatu resiko dengan mengadakan perjanjian asuransi dengan penanggung sehingga penanggung akan memberikan ganti rugi atau memberikan sejumlah uang apabila resiko dimaksud menjadi menyataan sebagai kontra prestasinya pihak penanggung akan menerima premi dari pihak tertanggung.

4)      Perjanjian konsensual yaitu suatu perjanjian yang telah terbentuk dengan adanya sepakat antara para pihak ( pasal 267 WvK) dengan inti pasalnya yaitu meskipun polis belum ditandatangani, bisa dengan sepakat dulu.

5)      Perjanjian penggantian kerugian yaitu penanggung mengikatkan diri untuk memberikan ganti kerugian kepada tertanggung yang seimbang dengan kerugian yang di derita tertanggung bersangkutan ( prinsip indemnitas ).

6)      Asuransi mempunyai sifat kepercayaan yang khusus bahwa saling percaya mempercayai diantara para pihak atau penanggung dan tertanggung memegang peranan yang besar untuk diadakannya perjanjian tersebut ( goeder throuw atau good faith ).

7)      Peristiwa yang belum pasti terjadi yaitu karena didalam asuransi terdapat unsure peristiwa yang belum pasti terjadi atau Onzekervoorvaal dalam pasal 1774 BW mengatakan bahwa asuransi di kelompokkan dalamperjanjian untung-untungan tetapi jangan disamakan dengan permainan dan perjudian sebab asuransi bukan merupakan suatu perjuadian atau permainan ( pasal 1811 BW Nedherland ).

  1. TUJUAN ASURANSI
    1. Economish doel ( tujuan ekonomi )

Seseorang akan melakukan perjanjian asuransi apabila ia merasa tidak dapat atau tidak mau menanggung sendiri suatu resiko yang materil, dengan demikian terdapat fungsi pemindahan resoko dan pembagian resiko.

  1. Social doel ( tujuan sosial )

Adanya perhatian terhadap para korban untuk jelasnya dengan adanya  asuransi di harapkan agar para korban yang termasuk golongan yang tidak mampu tidak dalam keadaan terlantar dan tanpa suatu sumber penghasilan yang mengakibatan kerugian pada mereka yang tidak mampu tersebut.

  1. FUNGSI ASURANSI

Fungsi asuransi adalah sebagai pemindahan risiko dan pembagian risiko yaitu jika timbul kerugian bagi tertanggung karena kejadian yang tidak tentu, maka atas risiko kerugian tersebut yang semula akan di tanggung sendiri oleh tertanggung namun selanjutnya dig anti sebagian atau seluruhnya oleh penanggung sesuai perjanjian asuransi.

  1. BENTUK DAN SIFAT PERJANJIAN ASURANSI
    1. Suatu perjanjian tertentu (  pasal 1313 BW ) dengan inti pasal  yaitu para pihak mengikatkan dirinya kepada atau terhadap orang lain.
    2. Perjanjian timbale balik yaitu yang nantinya timbul suatu kewajiban antara tertanggung dan penanggung.
    3. perjanjian yang bersifat konsensuil ( pasal 257 BW ).
    4. Persetujuan atau perjanjian formil ( pasal 255 WvK ) yang mengatakan bahwa harus ada polis dengan dibuatnya suatu perjanjian atau persetujuan diatas akta yang disebut polis.

Pasal 258 WvK menyebutkan bahwa untuk pembuktian polis maka perjanjian asuransi tersebut telah di tutup atau sah.

Adapun macam-macam akta diantaranya :

  • akta otentik contohnya polis
  • onderhand atau dibawah tangan contohnya perjanjian
  • surat-surat lainnya contohnya kwitansi
  1. PREMI
  • Premi berdasarkan pasal 246 WvK yaitu merupakan salah satu unsur untuk mendapatkan asuransi.
  • Premi berdasarkan pasal 256 WvK yaitu premi tersebut harus dinyatakan di atas polis.
  • Molenggraaff

Kewajiban membayar premi adalah suatu kewajiban dari tertanggung selain kewajiban lainnya.

  • Dorhout Mess

Seorang asuradur atau penanggung tidak akan mengambil alih risiko-risiko orang lain hanya berdasarkan prikemanusiaan saja, akan tetapi sebagi kontra prestasinya dimintakan pembayaran premi dari pihak tertanggung.

  • Dr.Soenawar Soekowati

Dalam perjanjian pertanggungan seolah-olah terjadi jual beli “kepastian” yaitu suatu kepastian yang akan menandai derita material.apabila terjadi suatu peristiwa yang merugikan, dan hanya pembelian itu berwujud pembayaran-pembayaran periodic yang berupa premi.

Premi bukan merupakan syarat mutlak. Pembayaran premi dalam asuransi boleh karena :

1)      Premi bukan merupakan syarat mutlak. Misalnya santunan jasa raharja.

2)      Wirjono Prodjodikoro mengatakan apabila terhadap risiko dari penanggung yang amat besar tidak ada imbangan dari pihak tertanggung berupa pembayaran premi maka perjanjian dari penanggung dapat dikatakan tidak berbeda dengan suatu penghibahan kepada terjamin.

3)      Douhout Mess mengatakan bahwa pembayaran premi tidak merupakan faktor esensil untuk berlakunya asuransi.walaupun secara ekonomis mungkin mempunyai akibat serupa missal jaminan timbal balik dalam  pasal 1239 BW yang menyatakan perikatan adalah untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dan pasal 1267 BW bahwa mengganti kerugian beseta bunga.

Ketika tertanggung tidak dapat melunasi premi kepada penanggung maka selain perjanjian di gugurkan, maka harus juga mengganti kerugian beserta bunga ( pasal 1267 BW ).

Jika terjadi wanprestasi apabila diselesaikan melalui gugatan di ajukan kepada Pengadilan Negeri diman perjanjian itu terjadi atau di buat,yang menjadi dasar gugatan yaitu pasal 1365 BW tentang penggantian kerugian.

Asuransi yang terjadi karena perjanjian konsensil dengan syarat pasal 1320 BW mengenai syarat sahnya perjanjian.

1)      Cakap                             dapat dibatalkan tetapi perjanjian tetap

2)      Sepakat                            ada ( vernietigbaan )

3)      Obyek tertentu

4)      Causa yang halal                                batal demi hukum,

Perjanjian ada tetapi

Dianggap tidak ada

Dwang (paksaan), Dwaling (kekeliruan), Bedhon (penipuan) ada dalam pasal 251 WvK.

  1. SYARAT ( ISI DAN BENTUK ) POLIS ASURANSI ( pasal 256 WvK )

Syarat  ( isi dan bentuk ) polis asuransi dibagi 2 yaitu :

1)      Polis asuransi umum yaitu asuransi barang ( pasal 256 WvK ) isi dan bentuknya terdiri dari :

  1. Tanggal diadakannya perjanjian asuransi.
  2. Nama orang yang atas biayanya sendiri atau untuk orang lain mengadakan asuransi.
  3. Uraian yang cukup jelas tentang barang yang diasuransikan.
  4. Jumlah uang asuransi.
  5. Bahaya yang dijamin oleh penggung
  6. Saat kapan bahaya mulai di jamin oleh asuradu dan berakhir
  7. Premi dari asuransi.
  8. Pada umumnya semua keadaan yang betul-betul penting untuk diketahui oleh penanggung dan semua isi perjanjian yang dibuat oleh pihak-pihak terkait. Dengan keterangan bahwa tertanggung ada ahli warisnya maka dapat diwariskan. Ini dikecualikanuntuk polis asuransi jiwa.

2)      Polis asuransi khusus

  1. Asuransi jiwa  ( pasal 304 WvK)
  2. tanggal diadakannya perjanjian asuransi
  3. nama tertanggung
  4. nama orang yang hidupnya diasuransikan
  5. waktu mulai dan berakhirnya bahaya bagi penanggung
  6. sejumlah uang yang diasuransikan ( bisa di tentukan oleh  pihak-pihak yang bersangkutan; pasal 305 WvK ) dengan keterangan uang diserahkan kepada penanggung dan tertanggung.
    1. premi asuransi
    2. Polis asuransi kebakaran ( pasal 254 Wvk mengenai kombinasi polis umum dan pasal 287 WvK mengenai polis khusus )
      1. letak dan batas barang tetap yang diasuransikan
      2. penggunaan barang tersebut
      3. sifat dan penggunaan bangunan-bangunan yang berbatasan sejauh mempunyai pengaruh terhadap asuransi
      4. harga barang yang diasuransikan
      5. letak dan batas bangunan-bangunan dan tempat-tempat dimana barang-barang bergerak yang diasuransikan berada, disimpan dan ditimbun.
      6. Polis asuransi laut ( pasal 256 Wvk untuk polis umum dan pasal 592 Wvk untuk polis khusus)
        1. nama nahkoda, nama kapal dengan menyebut macamnya dan dalam mengasuransikan kapal
        2. tempat dimana barang-barang yang dimuatkan atau harus dimuat
        3. pelabuhan atau pantai tempat berlabuh dimana barang-barang harus dimuat atau membongkar muatan
        4. Polis pada asuransi lain

Syarat –syarat isi dan bentuk polis asuransi khusus yang berlaku bagi asuransi lain misalnya asuransi hasil pertanian ( pasal 299 WvK ) seperti asuransi hasil bumi.

Asuransi pengangkutan didarat dan disungai dalam pasal 648 WvK dan 256 Wvk.

Maksud dan tujuan dalam polis harus disebutkan :

1. premi dan asuransi serta jumlah uang asuransi yaitu premi merupakan jumlah  kewajiban tertanggung yang menjadi hak penanggung atas perjanjian yang dibuat ke dua belah pihak sehingga diketahui berapa jumlah premi yang akan dan atau diterima oleh penanggung dari tertanggung dimana premi menjadi dasar penetapan besarnya tanggungan asuransi.

Tanggungan asuransi adalah suatu batas maksimum jumlah kewajiban penanggung yang menajdi hak tertanggung bila terjadi peristiwa yang semula tidak dipastikan akan terjadi yang harus dibayarkan kepada tertanggung. Hal ini jelas perusahaan asuransi harus siap dan tersedia dana.

Suatu polis asuransi harus dianggap batal dan tidak berlaku lagi :

1. jika tertanggung telah memberitahukan keterangan-keterangan yang salah atau tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya atau telah menyembunyikan beberapa hal meskipun mungkin tidak dengan sengaja, hal mana adalah sedemikian rupa sehingga bila diketahui lebih dahulu adalah pihak penanggung mungkin menyebabkan tidak sampai terjadi asuransi tersebut.

2. kecuali dalam hal-hal tertentu tersebut apabila asuransi tersebut sebagai asuransi double atau berganda untuk masa yang sama, melambangkan yang sama dan barang-barang yang sama, sedangkan barang atau benda tersebut telah diasuransikan penuh dengan polis lain.

3. jika bahaya terhadap mana asuransi diadakan telah ada atau terkandung oleh barang yang akan diasuransikan pada waktu diselenggarakannya asuransi tersebut bahaya atau kerugian mana di ketahui oleh tertanggung sendiri atau oleh wakilnya yang mengadakan atau menutup asuransi itu.

Suatu perjanjian asuransi akan berakhir menurut Mollenggraaff apabila :

  1. asuransi telah selesai dengan tibanya waktu yang telah dijanjikan.
  2. tertanggung dibebaskan oleh penanggung.
  3. terjadi pemusnahan keseluruhan atau terjadi kerugian yang mencapai jumlah yang di pertanggungkan.
  4. perjanjian asuransi itu gugur karena :
  5. obyek dari bahaya tidak lagi terancam bahaya atau tertanggung tidak lagi memiliki kepentingan yang di asuransikan.
  6. Penambahan bahaya.
  7. perjanjian asuransi diputuskan sebab salah satu pihak telah melakukan wanprestasi ( pasal 1267 BW ).

Tambahan asuransi berakhir apabila :

  1. tertanggung meninggal dunia.
  2. perjanjian asuransi batal atau gugur secara hukum antara lain tertanggung ketahuan tidak memberikan keterangan yang sebenarnya atau tidak benar mengenai obyek.
  3. salah satu pihak melakukan wanprestasi atau tidak melaksanakan kewajibannya yang secara hukum perjanjian asuransi tersebut harus dibatalkan.
  4. perjanjian asuransi telah berakhir atau jatuh tempo.

Asuransi gugur atau batal apabila :

  1. asuransi gugur misalnya asuransi atas barang-barang yang di angkut :
  2. bila seluruh barang tidak diangkut maka asuransi batal
  3. bila hanya sebagian barang-barang yang diangkut maka hanya sebagian asuransi saja yang gugur.
  4. perjanjian asuransi akan gugur dan batal :
    1. bila tertanggung tidak memberitahukan hal-hal yang sebenarnya pada penanggung tentang barang-barang yang diasuransikan ( pasal 251 WvK ).
    2. Apabila terjadi double asuransi atau asuransi berganda ( pasal 252 WvK )
    3. Tertanggung mengetahui ada kerugian terhadap mana asuransi diadakan maka asuransi batal ( pasal 269 WvK ).

Terhadap barang yang diasuransikan harus diuraikan dengan jelas di dalam polis adalah untuk :

  1. Sebagai dasar menghitung besarnya premi asuransi yang harus dibayar tertanggung kepada penanggung.
  2. Mengetahui apakah barang-barang atau benda-benda yang diasuransikan menanggung risiko atau tidak.
  3. Sebagi dasar menghitung besarnya atau jumlah pertanggungan yang menjadi kewajiban penanggung kepada tertanggung bila terjadi peristiwa yang tak pasti.
  4. Dapat diketahui status kepemilikan barang atau benda yang diasuransikan sehingga mempunyai kepastian pembayaran  ganti rugi kepada yang berhak bila terjadi peristiwa yang tak pasti. Intinya obyek asuransi harus di jelaskan.

Dalam asuransi harus dicantumkan premi dan jumlah asuransi. Kenapa harus di cantumkan ? karena premi merupakan suatu hak penanggung dan kewajiban penanggung yang disepakati ke dua belah pihak maka menimbulkan hak dan kewajiban. Sehingga premi menjadi dasar penetapan besarnya jumlah tanggungan asuransi.

Tanggungan asuransi adalah suatu batas maksimum dari kewajiban penanggung yang menjadi hak tertanggung jika terjadi peristiwa. Jumlah suatu premi ditentukan atas kesepakatan ke dua belah pihak ( pasal 257 WvK ).

Polis bukan merupakan syarat mutlak dalam asuransi. Contoh jika tertanggung belum menerima polis dan peristiwa sudah terjadi maka dapat dibuktikan dengan kwitansi pembayaran awal premi tahap awal ( pasal 258 WvK ).

Polis merupakan syarat mutlak ( pasal 255 WvK).

Polis bukan merupakan syarat mutlak ( pasal 257 WvK ).

Menurut Molenggraaff dalam praktek ada penyimpangan diantaranya :

  1. Dalam perjanjian  asuransi kedua belah pihak menggantungkan terbentuknya asuransi dari adanya polis.
  2. Dalam perjanjian asuransi dibuat suatu polis yang memuat persyaratan  kedua belah pihak berjanji sesuatu yaitu penanggung dan tertanggung seperti dalam hal jual beli. Berarti ada timbale balik kedua belah pihak ( pasal 1238 BW mengenai kontrak polis ).

Dalam pasal 7 (1) UU No.2/1992 mengenai usaha-usaha perasuransian mengatakan bahwa perusahaan asuransi harus bebadan hukum seperti PT, Koperasi, Perseroan.

Perusahaan asuransi juga dapat didirikan berdasarkan syariat islam. Perusahaan asuransi harus didirikan dengan izin menteri keuangan karena perusahaan asuransi ini merupakan perusahaan non bank.

Kenapa modal harus dicantumkan dalam perusahaan asuransi ketika didaftarkan ?

  1. karena menteri keuangan ingin mengetahui dengan modal yang dimiliki sampai sejauh mana kemungkinan kemampuan perusahaan yang mengajukan SIUP dalam bidang perasuransian ini akan mampu membayar hutang atau kewajibannya kepada masyarakat dan/atau tertanggung bila sewaktu waktu terjadi peristiwa yang belum pasti.
  2. sebagai penanggung yangtelah menerima atau memperoleh premi dari penangung mempunyai kewajiban untuk mengganti kerugian apabila terjadi suatu peristiwa yangharus dibayar kepada tertanggung.
  3. untuk mendapatkan nasabah atau tertanggung diperlukan selain adanya tenaga terampil juga memerlukan biaya operasional yang tidak sedikit.
  4. kondisi perusahaan harus diperhitungkan untuk menarik agar masyarakat ingin menjadi tertanggung pada perusahaan asuransi yang bersangkutan antara lain harus memiliki sarana dan prasarana yang memadai.

Karena perusahaan asuransi merupakan penanggung dalam usaha asuransi apabil aterjadi risiko yang besar maka perusahaan asuransi harus memiliki modal yangbesar sebagai konsekuensinya.

Perusahaan perseroan yaitu kumpulan PT-PT ( cakupannya lebih luas )

Perusahaan terbatas yaitu hanya terbatas pada saham-saham ( ADRT ).

Sumber-sumber asuransi :

  • Buku I ( Bab 9 & 10 )

Buku I Bab 9 mengenai asuransi pada umumnya yaitu mengatur asuransi secara keseluruhan baik dari dalam maupun luar KUHD.

Buku I Bab 10 mengenai asuransi jiwa, kebakaran dan hasil pertanian.

  • Buku II ( Bab 9 @ 10 )

Buku II Bab 9 mengenai laut dan perbudakan.

Buku II Bab 10 mengenai asuransi darat dan sungai-sungai di pedalaman.

Persamaan asuransi dan bunga cagak hidup ( lifgrente ) yaitu sama-sama merupakan perjanjian untung-untungan ( perjanjian untuk mencari keuntungan 0 digantungkan pada peristiwa yang belum pasti.

Perbedaan asuransi dan bunga cagak hidup yaitu :

  • Pada asuransi                     : A ( penanggung )     B ( tertanggung )

Apabila B meninggal maka A harus membayar ganti rugi selama masih dalam jangka waktu, sampai meninggal harus dibayar ganti ruginya.

  • Pada bunga cagak hidup :Apabila B meninggal maka A tidak              berkewajiban membayar ganti rugi. Jadi hanya sepanjang B hidup saja.

Perbedaan asuran dan perjudian terletak pada kepentingannya yaitu orang yang mengasuransikan berkepentingan pada obyek yang diasuransikan.

Asuransi digolongkan kedalam 2 jenis :

1. Asuransi kerugian ( schade verzekering ) contohnya kebakaran.

2. Asuransi sejumlah uang ( sommen verzekering ) contohnya asuransi pendidikan,asuransi kesehatan.

–   Asuransi kerugian ( Emmy Pangaribuan ) adalah perjanjian pertanggungan di dalam pengertian yang murni harus mengandung suatu tujuan bahw kerugian yang sungguh-sungguh diderita oleh pihak tertanggung akan diganti oleh pihak penanggung.

–   Asuransi sejumlah uang ( Emmy Pangaribuan ) yaitu penggantian kerugian yang diberikan oleh pihak penanggunga sebenarnya tidak dapat dikatakan sebagai suatu ganti rugi oleh karena orang yang menerima ganti rugi itu tidak menerima ganti rugi yang sungguh-sungguh sesuai dengan kerugian yang dideritanya dikarenakan ganti rugi yang diterimanya itu sebenarnya adalah hasil penentuan sejumlah uang yang telah disepakati oleh pihak-pihak.

Kesimpulannya bahwa asuransi kerugian itu ganti rugi harus sesuai dengan kerugian yang diderita.

Pasal 246 KUHD itu mengenai :

  1. hanya mengakomodir mengenai asuransi kerugian
  2. adanya kewajiban dan hak yang saling berhadapan ( perjanjian timbale balik )
  3. asuransi maupun perjanjian bersyarat
  4. peristiwa yang belum tentu terjadi ( evenement )
  5. ganti rugi pihak tertanggung

Mengapa pasal 246 KUHD hanya mengenai asuransi kerugian ? karena kematian adalah hal yan tentu terjadi, hanya waktunya saja yang tak tentu.

Asuransi pertanggungan jawab menurut pasal 1365 BW yaitu Onrechtmatigedaad.

Dimana unsure-unsur psal 1365 BW meliputi ;

  1. perbuatan melawan hukum ( onrechtmatigedaad )
  2. kesalahan ( schuld ) bukan kesengajaan ( opzet )
  3. kerugian ( schade )
  4. hubungan kausal antara schuld dan schade.

Contoh kasus : Tuam Nojib seorang supir taksi menabrak mobil mercy.kerugian yang diderita oleh mobil mercy Rp. 1.000.000, Tuan Nojib mengikuti asuransi PT.Sukamahat Rp. 500.000, untuk penggantian kerugiannya maka Rp.500.000 dari asuransi dan Rp.500.000 dari Tuan Nojib sendiri. Bila kerugiaanya Rp.200.000 maka pihak asuransi hanya membayar Rp.200.000, sisanya Rp.300.000 menjadi keuntungan PT.Asuransi (penanggung).

Pasal 251 KUHD mengenai penyimpangan ( Renuntiatie )

Contoh kasus : pada asuransi mobil misalnya AC tidak jalan, dan pihak tertanggung lupa memberitahukan kepada pihak penanggung maka ini merupakan Renuntiatie.

KEJAKSAAN AGUNG

2

PENGERTIAN KEJAKSAAN

Kejaksaan R.I. adalah lembaga negara yang melaksanakan kekuasaan negara, khususnya di bidang penuntutan. Sebagai badan yang berwenang dalam penegakan hukum dan keadilan, Kejaksaan dipimpin oleh Jaksa Agung yang dipilih oleh dan bertanggung jawab kepada Presiden. Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi, dan Kejaksaan Negeri merupakan kekuasaan negara khususnya dibidang penuntutan, dimana semuanya merupakan satu kesatuan yang utuh yang tidak dapat dipisahkan.

Mengacu pada Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 yang menggantikan UU No. 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan R.I., Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum dituntut untuk lebih berperan dalam menegakkan supremasi hukum, perlindungan kepentingan umum, penegakan hak asasi manusia, serta pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Di dalam UU Kejaksaan yang baru ini, Kejaksaan RI sebagai lembaga negara yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan harus melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya secara merdeka, terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya (Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004).

Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, Kejaksaan dipimpin oleh Jaksa Agung yang membawahi enam Jaksa Agung Muda serta 31 Kepala Kejaksaan Tinggi pada tiap provinsi. UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia juga mengisyaratkan bahwa lembaga Kejaksaan berada pada posisi sentral dengan peran strategis dalam pemantapan ketahanan bangsa. Karena Kejaksaan berada di poros dan menjadi filter antara proses penyidikan dan proses pemeriksaan di persidangan serta juga sebagai pelaksana penetapan dan keputusan pengadilan. Sehingga, Lembaga Kejaksaan sebagai pengendali proses perkara (Dominus Litis), karena hanya institusi Kejaksaan yang dapat menentukan apakah suatu kasus dapat diajukan ke Pengadilan atau tidak berdasarkan alat bukti yang sah menurut Hukum Acara Pidana.

Perlu ditambahkan, Kejaksaan juga merupakan satu-satunya instansi pelaksana putusan pidana (executive ambtenaar). Selain berperan dalam perkara pidana, Kejaksaan juga memiliki peran lain dalam Hukum Perdata dan Tata Usaha Negara, yaitu dapat mewakili Pemerintah dalam Perkara Perdata dan Tata Usaha Negara sebagai Jaksa Pengacara Negara. Jaksa sebagai pelaksana kewenangan tersebut diberi wewenang sebagai Penuntut Umum serta melaksanakan putusan pengadilan, dan wewenang lain berdasarkan Undang-Undang.

SEJARAH KEJAKSAAN AGUNG

Sebelum Reformasi

Istilah Kejaksaan sebenarnya sudah ada sejak lama di Indonesia. Pada zaman kerajaan Hindu-Jawa di Jawa Timur, yaitu pada masa Kerajaan Majapahit, istilah dhyaksa, adhyaksa, dan dharmadhyaksa sudah mengacu pada posisi dan jabatan tertentu di kerajaan. Istilah-istilah ini berasal dari bahasa kuno, yakni dari kata-kata yang sama dalam Bahasa Sansekerta.

Seorang peneliti Belanda, W.F. Stutterheim mengatakan bahwa dhyaksa adalah pejabat negara di zaman Kerajaan Majapahit, tepatnya di saat Prabu Hayam Wuruk tengah berkuasa (1350-1389 M). Dhyaksa adalah hakim yang diberi tugas untuk menangani masalah peradilan dalam sidang pengadilan. Para dhyaksa ini dipimpin oleh seorang adhyaksa, yakni hakim tertinggi yang memimpin dan mengawasi para dhyaksa tadi.

Kesimpulan ini didukung peneliti lainnya yakni H.H. Juynboll, yang mengatakan bahwa adhyaksa adalah pengawas (opzichter) atau hakim tertinggi (oppenrrechter). Krom dan Van Vollenhoven, juga seorang peneliti Belanda, bahkan menyebut bahwa patih terkenal dari Majapahit yakni Gajah Mada, juga adalah seorang adhyaksa.

Pada masa pendudukan Belanda, badan yang ada relevansinya dengan jaksa dan Kejaksaan antara lain adalah Openbaar Ministerie. Lembaga ini yang menitahkan pegawai-pegawainya berperan sebagai Magistraat dan Officier van Justitie di dalam sidang Landraad (Pengadilan Negeri), Jurisdictie Geschillen (Pengadilan Justisi ) dan Hooggerechtshof (Mahkamah Agung ) dibawah perintah langsung dari Residen / Asisten Residen.

Hanya saja, pada prakteknya, fungsi tersebut lebih cenderung sebagai perpanjangan tangan Belanda belaka. Dengan kata lain, jaksa dan Kejaksaan pada masa penjajahan belanda mengemban misi terselubung yakni antara lain:

  1. Mempertahankan segala peraturan Negara
  2. Melakukan penuntutan segala tindak pidana
  3. Melaksanakan putusan pengadilan pidana yang berwenang

Fungsi sebagai alat penguasa itu akan sangat kentara, khususnya dalam menerapkan delik-delik yang berkaitan dengan hatzaai artikelen yang terdapat dalam Wetboek van Strafrecht (WvS).

Peranan Kejaksaan sebagai satu-satunya lembaga penuntut secara resmi difungsikan pertama kali oleh Undang-Undang pemerintah zaman pendudukan tentara Jepang No. 1/1942, yang kemudian diganti oleh Osamu Seirei No.3/1942, No.2/1944 dan No.49/1944. Eksistensi kejaksaan itu berada pada semua jenjang pengadilan, yakni sejak Saikoo Hoooin (pengadilan agung), Koootooo Hooin (pengadilan tinggi) dan Tihooo Hooin (pengadilan negeri). Pada masa itu, secara resmi digariskan bahwa Kejaksaan memiliki kekuasaan untuk:

  1. Mencari (menyidik) kejahatan dan pelanggaran
  2. Menuntut Perkara
  3. Menjalankan putusan pengadilan dalam perkara kriminal.
  4. Mengurus pekerjaan lain yang wajib dilakukan menurut hukum.

Begitu Indonesia merdeka, fungsi seperti itu tetap dipertahankan dalam Negara Republik Indonesia. Hal itu ditegaskan dalam Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, yang diperjelas oleh Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 2 Tahun 1945. Isinya mengamanatkan bahwa sebelum Negara R.I. membentuk badan-badan dan peraturan negaranya sendiri sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Dasar, maka segala badan dan peraturan yang ada masih langsung berlaku.

Karena itulah, secara yuridis formal, Kejaksaan R.I. telah ada sejak kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, yakni tanggal 17 Agustus 1945. Dua hari setelahnya, yakni tanggal 19 Agustus 1945, dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) diputuskan kedudukan Kejaksaan dalam struktur Negara Republik Indonesia, yakni dalam lingkungan Departemen Kehakiman.

Kejaksaan RI terus mengalami berbagai perkembangan dan dinamika secara terus menerus sesuai dengan kurun waktu dan perubahan sistem pemerintahan. Sejak awal eksistensinya, hingga kini Kejaksaan Republik Indonesia telah mengalami 22 periode kepemimpinan Jaksa Agung. Seiring dengan perjalanan sejarah ketatanegaraan Indonesia, kedudukan pimpinan, organisasi, serta tata cara kerja Kejaksaan RI, juga juga mengalami berbagai perubahan yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat, serta bentuk negara dan sistem pemerintahan.

Menyangkut Undang-Undang tentang Kejaksaan, perubahan mendasar pertama berawal tanggal 30 Juni 1961, saat pemerintah mengesahkan Undang-Undang Nomor 15 tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan RI. Undang-Undang ini menegaskan Kejaksaan sebagai alat negara penegak hukum yang bertugas sebagai penuntut umum (pasal 1), penyelenggaraan tugas departemen Kejaksaan dilakukan Menteri / Jaksa Agung (Pasal 5) dan susunan organisasi yang diatur oleh Keputusan Presiden. Terkait kedudukan, tugas dan wewenang Kejaksaan dalam rangka sebagai alat revolusi dan penempatan kejaksaan dalam struktur organisasi departemen, disahkan Undang-Undang Nomor 16 tahun 1961 tentang Pembentukan Kejaksaan Tinggi.

Pada masa Orde Baru ada perkembangan baru yang menyangkut Kejaksaan RI sesuai dengan perubahan dari Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 kepada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991, tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Perkembangan itu juga mencakup perubahan mendasar pada susunan organisasi serta tata cara institusi Kejaksaan yang didasarkan pada adanya Keputusan Presiden No. 55 tahun 1991 tertanggal 20 November 1991.

Masa Reformasi

Masa Reformasi hadir ditengah gencarnya berbagai sorotan terhadap pemerintah Indonesia serta lembaga penegak hukum yang ada, khususnya dalam penanganan Tindak Pidana Korupsi. Karena itulah, memasuki masa reformasi Undang-undang tentang Kejaksaan juga mengalami perubahan, yakni dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 untuk menggantikan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991. Kehadiran undang-undang ini disambut gembira banyak pihak lantaran dianggap sebagai peneguhan eksistensi Kejaksaan yang merdeka dan bebas dari pengaruh kekuasaan pemerintah, maupun pihak lainnya.

Dalam Undang-Undang No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, Pasal 2 ayat (1) ditegaskan bahwa “Kejaksaan R.I. adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara dalam bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang”. Kejaksaan sebagai pengendali proses perkara (Dominus Litis), mempunyai kedudukan sentral dalam penegakan hukum, karena hanya institusi Kejaksaan yang dapat menentukan apakah suatu kasus dapat diajukan ke Pengadilan atau tidak berdasarkan alat bukti yang sah menurut Hukum Acara Pidana. Disamping sebagai penyandang Dominus Litis, Kejaksaan juga merupakan satu-satunya instansi pelaksana putusan pidana (executive ambtenaar). Karena itulah, Undang-Undang Kejaksaan yang baru ini dipandang lebih kuat dalam menetapkan kedudukan dan peran Kejaksaan RI sebagai lembaga negara pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan.

Mengacu pada UU tersebut, maka  pelaksanaan kekuasaan negara yang diemban oleh Kejaksaan, harus dilaksanakan secara merdeka. Penegasan ini tertuang dalam Pasal 2 ayat (2) UU No. 16 Tahun 2004, bahwa Kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan secara merdeka. Artinya, bahwa dalam melaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya. Ketentuan ini bertujuan melindungi profesi jaksa dalam melaksanakan tugas profesionalnya.

UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan R.I. juga telah mengatur tugas dan wewenang Kejaksaan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 30, yaitu :

(1) Di bidang pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang:

  1. Melakukan penuntutan;
  2. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
  3. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan bersyarat;
  4. Melaksanakan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang;
  5. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.

(2) Di bidang perdata dan tata usaha negara, Kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah

(3) Dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum, Kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan:

  1. Peningkatan kesadaran hukum masyarakat;
  2. Pengamanan kebijakan penegakan hukum;
  3. Pengamanan peredaran barang cetakan;
  4. Pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara;
  5. Pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama;
  6. Penelitian dan pengembangan hukum statistik kriminal.

Selain itu, Pasal 31 UU No. 16 Tahun 2004 menegaskan bahwa Kejaksaan dapat meminta kepada hakim untuk menetapkan seorang terdakwa di rumah sakit atau tempat perawatan jiwa, atau tempat lain yang layak karena bersangkutan tidak mampu berdiri sendiri atau disebabkan oleh hal-hal yang dapat membahyakan orang lain, lingkungan atau dirinya sendiri. Pasal 32 Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tersebut menetapkan bahwa di samping tugas dan wewenang tersebut dalam undang-undang ini, Kejaksaan dapat diserahi tugas dan wewenang lain berdasarkan undang-undang. Selanjutnya Pasal 33 mengatur bahwa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Kejaksaan membina hubungan kerjasama dengan badan penegak hukum dan keadilan serta badan negara atau instansi lainnya. Kemudian Pasal 34 menetapkan bahwa Kejaksaan dapat memberikan pertimbangan dalam bidang hukum kepada instalasi pemerintah lainnya.

Pada masa reformasi pula Kejaksaan mendapat bantuan dengan hadirnya berbagai lembaga baru untuk berbagi peran dan tanggungjawab. Kehadiran lembaga-lembaga baru dengan tanggungjawab yang spesifik ini mestinya dipandang positif sebagai mitra Kejaksaan dalam memerangi korupsi. Sebelumnya, upaya penegakan hukum yang dilakukan terhadap tindak pidana korupsi, sering mengalami kendala. Hal itu tidak saja dialami oleh Kejaksaan, namun juga oleh Kepolisian RI serta badan-badan lainnya. Kendala tersebut antara lain:

  1. Modus operandi yang tergolong canggih
  2. Pelaku mendapat perlindungan dari korps, atasan, atau teman-temannya
  3. Objeknya rumit (compilicated), misalnya karena berkaitan dengan berbagai peraturan
  4. Sulitnya menghimpun berbagai bukti permulaan
  5. Manajemen sumber daya manusia
  6. Perbedaan persepsi dan interprestasi (di kalangan lembaga penegak hukum yang ada)
  7. Sarana dan prasarana yang belum memadai
  8. Teror psikis dan fisik, ancaman, pemberitaan negatif, bahkan penculikan serta pembakaran rumah penegak hukum

Upaya pemberantasan korupsi sudah dilakukan sejak dulu dengan pembentukan berbagai lembaga. Kendati begitu, pemerintah tetap mendapat sorotan dari waktu ke waktu sejak rezim Orde Lama. Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi yang lama yaitu UU No. 31 Tahun 1971, dianggap kurang bergigi sehingga diganti dengan UU No. 31 Tahun 1999. Dalam UU ini diatur pembuktian terbalik bagi pelaku korupsi dan juga pemberlakuan sanksi yang lebih berat, bahkan hukuman mati bagi koruptor. Belakangan UU ini juga dipandang lemah dan menyebabkan lolosnya para koruptor karena tidak adanya Aturan Peralihan dalam UU tersebut. Polemik tentang kewenangan jaksa dan polisi dalam melakukan penyidikan kasus korupsi juga tidak bisa diselesaikan oleh UU ini.

Akhirnya, UU No. 30 Tahun 2002 dalam penjelasannya secara tegas menyatakan bahwa penegakan hukum dan pemberantasan korupsi yang dilakukan secara konvensional selama ini terbukti mengalami berbagai hambatan. Untuk itu, diperlukan metode penegakan hukum luar biasa melalui pembentukan sebuah badan negara yang mempunyai kewenangan luas, independen, serta bebas dari kekuasaan manapun dalam melakukan pemberantasan korupsi, mengingat korupsi sudah dikategorikan sebagai extraordinary crime .

Karena itu, UU No. 30 Tahun 2002 mengamanatkan pembentukan pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus tindak pidana korupsi. Sementara untuk penuntutannya, diajukan oleh Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) yang terdiri dari Ketua dan 4 Wakil Ketua yang masing-masing membawahi empat bidang, yakni Pencegahan, Penindakan, Informasi dan Data, Pengawasan internal dan Pengaduan masyarakat.

Dari ke empat bidang itu, bidang penindakan bertugas melakukan penyidikan dan penuntutan. Tenaga penyidiknya diambil dari Kepolisian dan Kejaksaan RI. Sementara khusus untuk penuntutan, tenaga yang diambil adalah pejabat fungsional Kejaksaan. Hadirnya KPK menandai perubahan fundamental dalam hukum acara pidana, antara lain di bidang penyidikan.

JAKSA AGUNG DARI MASA KE MASA

Mr. Gatot Taroenamihardja
1. Mr. Gatot Taroenamihardja (12 Agustus 1945 – 22 Oktober 1945)Mr. Gatot Taroenamihardja adalah Jaksa Agung Republik Indonesia yang pertama.
Mr. Kasman Singodimedjo
2. Mr. Kasman Singodimedjo (8 November 1945 – 6 Mei 1946)Mr Kasman Singodimedjo kelahiran Purworejo, 25 Februari 1904.
Mr. Tirtawinata
3. Mr. Tirtawinata (22 Juli 1946 – 1951)Mr. Tirtawinata diangkat menjadi Jaksa Agung tanggal 22 Juli 1946.
R Soeprapto
4. R Soeprapto (1951 – 1959) Saat R Soeprapto menjabat Jaksa Agung, negara sedang dirongrong oleh berbagai kemelut .
Mr. Gatot Taroenamihardja
Mr. Gatot Taroenamihardja (1 April 1959 – 22 September 1959) Mr. Gatot Taroenamihardja kembali memegang jabatan Jaksa Agung sesudah R.Soeprapto.
Mr Goenawan
6. Mr Goenawan (31 Desember 1959 – 1962) Mr Goenawan menjadi Jaksa Agung terhitung tanggal 31 Desember 1959.
R Kadaroesman
7. R Kadaroesman (1962 – 1964) R. Kadaroesman, SH adalah Jaksa Agung Republik Indonesia untuk periode 1962 sampai 1964.
Brigadir Jenderal TNI A. Soethardhio
8. Brigadir Jenderal TNI A. Soethardhio (1964 – 1966)Brigadir Jenderal TNI A. Soethardhio menggantikan R Kadaroesman.
Brigjen Soegih Arto
9. Brigjen Soegih Arto (27 Maret 1966 – 1973)Brigjen Soegih Arto adalah jaksa Agung pertama pada era orde baru.
Let. Jen. Ali Said
10. Let. Jen. Ali Said (1973 – 1981) Letnan Jenderal Purnawirawan Ali Said  adalah Jaksa Agung pada masa orde baru juga menggantikan Brigjen Soegih Arto.
Mayor Jenderal TNI Hari Suharto, SH
Mayor Jenderal TNI Hari Suharto, SH (4 Juni 1984 – 1988) Purnawirawan TNI dengan pangkat terakhir mayor jenderal.
Ismail Saleh
11. Letnan Jenderal TNI Ismail Saleh, SH (1981 – 1984).
Laksamana Muda Sukarton Marmosujono, SH
13. Laksamana Muda Sukarton Marmosujono, SH (1988 – 1990)
Singgih, SH
14. Singgih, SH (1990 – 1998) Munculnya Singgih sebagai Jaksa Agung menjadi fenomena baru di kalangan kejaksaan.
Soedjono C. Atmonegoro SH
15. Soedjono C. Atmonegoro SH (1998 – 15 Juni 1998).
Andi Ghalib SH
16. Andi Ghalib SH (1998 – 1999)
Marzuki Darusman SH
17. Marzuki Darusman SH (1999 – 2001)Marzuki Darusman, SH (lahir di Bogor, Jawa Barat tahun 1945).
Baharuddin Lopa SH
18. Baharuddin Lopa SH (6 Juni 2001 – 3 Juli 2001).
Marsillam Simanjuntak SH
19. Marsillam Simanjuntak SH (11 Juli 2001 – 14 Agustus 2001)Marsillam Simanjuntak, S.H. (lahir: 1943).
MA Rachman
20. M.A. Rachman, SH (14 Agustus 2001 – 21 Oktober 2004).
Abdul Rahman Saleh
21. Abdul Rahman Saleh (21 Oktober 2004 – 9 Mei 2007) Abdul Rahman Saleh, kelahiran Pekalongan, 1 April 1941.

LOGO & MAKNANYA

Bintang bersudut tiga

Bintang adalah salah satu benda alam ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang tinggi letaknya dan memancarkan cahaya abadi. Sedangkan jumlah tiga buah merupakan pantulan dari Trapsila Adhyaksa sebagai landasan kejiwaan warga Adyaksa yang harus dihayati dan diamalkan.
Pedang
Senjata pedang melambangkan kebenaran, senjata untuk membasmi kemungkaran/kebathilan dan kejahatan.

Timbangan
Timbangan adalah lambang keadilan, keadilan yang diperoleh melalui keseimbangan antara suratan dan siratan rasa.

Padi dan Kapas
Padi dan kapas melambangkan kesejahteraan dan kemakmuran yang menjadi dambaan masyarakat.

Seloka ”Satya Adi Wicaksana”

Merupakan Trapsila Adhyaksa yang menjadi landasan jiwa dan raihan cita-cita setiap warga Adhyaksa dan mempunyai arti serta makna:

  • Satya : Kesetiaan yang bersumber pada rasa jujur, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, terhadap diri pribadi dan keluarga maupun kepada sesama manusia.
  • Adi : kesempurnaan dalam bertugas dan yang berunsur utama, bertanggungjawab baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, terhadap keluarga dan terhadap sesama manusia.
  • Wicaksana : Bijaksana dalam tutur-kata dan tingkah laku, khususnya dalam penerapan kekuasaan dan kewenangannya.

Makna tata warna

  • Warna kuning diartikan luhur, keluhuran makna yang dikandung dalam gambar/lukisan, keluhuran yang dijadikan cita-cita.
  • Warna hijau diberi arti tekun, ketekunan yang menjadi landasan pengejaran/pengraihan cita-cita.

DOKTRIN KEJAKSAAN


Trikrama Adhyaksa :

Satya Adhi Wicaksana

  • SATYA :

Kesetiaan yang bersumber pada rasa jujur, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, terhadap diri pribadi dan keluarga maupun kepada sesama manusia.

  • ADHI :
    Kesempurnaan dalam bertugas dan berunsur utama pada rasa tanggung jawab terhadap Tuhan Yang Maha Esa,  keluarga dan sesama manusia.
  • WICAKSANA :

Bijaksana dalam tutur kata dan tingkah laku, khususnya dalam penerapan kekuasaan dan kewenangannya.

VISI & MISI

Visi

“Mewujudkan Kejaksaan sebagai lembaga penegak hukum yang melaksanakan tugasnya secara independen dengan menjunjung tinggi HAM dalam negara hukum berdasarkan Pancasila”

Misi

  • Menyatukan tata pikir, tata laku dan tata kerja dalam penegakan hukum.
  • Optimalisasi pemberantasan KKN dan penuntasan pelanggaran HAM
  • Menyesuaikan sistem dan tata laksana pelayanan dan penegakan hukum dengan mengingat norma keagamaan, kesesuliaan, kesopanan dengan memperhatikan rasa keadilan dan nilai-nilai kemanusiaan dalam masyarakat.

TUGAS & WEWENANG

Berdasarkan Pasal 30 Undang Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, berikut adalah tugas dan wewenang Kejaksaan.

Di bidang pidana :

  • melakukan penuntutan;
  • melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
  • melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat;
  • melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang;
  • melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.

Di bidang perdata dan tata usaha negara :
Kejaksaan dengan kuasa khusus, dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah.

Dalam bidang ketertiban dan ketenteraman umum, Kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan:

  • peningkatan kesadaran hukum masyarakat;
  • pengamanan kebijakan penegakan hukum;
  • pengawasan peredaran barang cetakan;
  • pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara;
  • pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama;
  • penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal.

STRUKTUR ORGANISASI