“Pekerjaanmu harus selesai sore ini F.”
” Iya baiklah untuk pertama kalinya aku akan lembur.”
“Hihihi maafkan aku, uang deposito itu baru masuk tadi.”
“Kau berhutang satu espresso padaku.”
“Baiklah baiklah.”
Huuuft aku menghembuskan napas. Kantor malam ini sudah cukup sepi. Hanya ada aku di banking hall. Bagian back office di lantai dua dan manajer operasionalku yang sudah belasan kali keluar masuk toilet karena rujak tadi siang.
Sedangkan aku seharusnya sudah meninggalkan gedung ini sejak setengah jam yang lalu.
Cahaya yang dipantulkan dari layar komputer ini sungguh membuat mataku lelah. Ah aku membutuhkan secangkir coklat panas.
“Hallo bu Ican, pak maman ada?”
“Udah pulang sejak jam setengah 5 tadi ada urusan keluarga katanya.”
Huuuft itu berarti aku harus berjalan menaiki tangga menuju pantry di lantai dua.
“Bagaimana depositomu belum beres?”
“Belum bu ican. Aku kan menunggu kau untuk membuka tutup depositonya.”
“Hihihi iya tunggu yaa ini lagi dikerjain.”
Suara sendok yang beradu dengan gelas lumayan meramaikan suasana sepi dilantai dua ini.
Aku menyesap coklatku. Aaah enaknya.
“Gimana kerjaan hari ini bu Ican?” Perempuan berusia 30 tahun di hadapanku menjawab tanpa mengalihkan pandangannya dari layar komputer.
“Banyaaak sekaliii F. Bulan ini membuat stres.”
Ah memang benar. Berbeda dengan bulan sembilan yang disibukan dengan pekerjaan yang berhubungan langsung dengan nasabah. Bulan oktober ini kami disibukan dan dikejutkan dengan kedatangan para tim audit. Mulai dari tim audit operasional yang bikin deg degan kalau kalau berkas yang diminta tidak ada. Ada lagi tim audit IT yang mondar mandir melihat apa saja isi komputermu. Belum lagi tim pelayanan yang setia duduk di banking hall untuk menilai seluruh frontliner. Bulan yang melelahkan.
“Eh bagaimana dengan H mu?”
Aku menghela napas. “Aku mengirimnya pesan tadi pagi bu Ican.”
“Kau masih akan menunggunya?”
Aku tersenyum mendengar pertanyaannya.
“Masih dan pasti.”
“Sampai kapan? Semua ada batasnya loh…yaa semacam limit waktu.” Kali ini dia berbicara sambil menatap kearahku. Sesekali ia betulkan letak kacamatanya.
“Iya aku tahu. Tapi aku tak ingin memaksanya. Aku yakin dia ingat akan janjinya. Dan suatu hari dia akan datang atau berbicara kepadaku untuk mengambil rasa ini.”
“Kamu ini F tetap saja puitis bahasanya bahkan di saat-saat seperti ini.”
“Hey aku kan penulis juga, jadi terima saja lah.”
Seketika aku teringat dia. Pria itu. Pria penyuka warna coklat.
“Sudahlah bu Ican malam ini aku ingin segera pulang. Cepat bereskan pekerjaan kita.”
Semua memang ada batas waktunya. Tapi aku tak akan memaksa. Walau terkadang ingin menanyakan. Aku hanya diam diam berdoa bahwa suatu hari nanti kau akan datang. Dan aku tak pernah kehabisan harapan. Cinta yang baik itu tidak memaksa bukan.
Sudah pukul 20.30 aku harus pulang.
Posted from WordPress for Android